Selasa 13 Apr 2021 06:05 WIB

Bos Perusahaan di AS Ikut Bahas Perubahan UU Pemilu

Pertemuan ini dihadiri petinggi maskapai-maskapai besar, perusahaan ritel dan pabrik

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Seorang petugas pemilu mengumpulkan surat suara setelah dipindai dan sebelum tabulasi di ruang penghitungan di Departemen Pemilu Panitera Contra Costa County di Martinez, California, AS, 03 November 2020. Warga Amerika memberikan suara pada Hari Pemilu untuk memilih antara memilih kembali Donald J. Trump atau memilih Joe Biden sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat untuk menjabat dari tahun 2021 hingga 2024.
Foto: EPA-EFE/JOHN G. MABANGLO
Seorang petugas pemilu mengumpulkan surat suara setelah dipindai dan sebelum tabulasi di ruang penghitungan di Departemen Pemilu Panitera Contra Costa County di Martinez, California, AS, 03 November 2020. Warga Amerika memberikan suara pada Hari Pemilu untuk memilih antara memilih kembali Donald J. Trump atau memilih Joe Biden sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat untuk menjabat dari tahun 2021 hingga 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari seratus eksekutif dan pemimpin perusahaan Amerika Serikat (AS) berkumpul untuk membahas respons mereka terhadap perubahan undang-undang pemilu di Negara Bagian Georgia dan kemungkinan sejumlah negara bagian lainnya. Pertemuan itu digelar Yale School of Management.

Pada Senin (12/4), penyelenggara tidak menyebutkan peserta pertemuan. Tetapi surat kabar the Washington Post melaporkan pertemuan ini dihadiri petinggi maskapai-maskapai besar, perusahaan ritel dan pabrik, serta satu orang pemilik tim sepak bola Amerika (NFL).

Baca Juga

Dalam pernyataan yang disampaikan Yale School of Management dan dua kelompok sipil lainnya disebutkan 'para CEO mengindikasi kesiapan mereka untuk bertindak baik secara individu maupun kolektif dan memastikan Amerika memiliki sistem pemilihan kelas dunia'.

Profesor manajemen Yale dan salah satu penyelenggara, Jeffrey Sonnenfeld mengatakan salah satu aksinya menghentikan donasi ke politisi yang mendukung perubahan undang-undang itu. Mungkin juga ke negara bagian yang meloloskan peraturan pemilu tersebut.

Surat kabar the Wall Street Journal mengutip salah satu sumber yang mengatakan mantan chief executive American Express Co Kenneth Chenault dan CEO Merck & Co Kenneth Frazier turut hadir dalam pertemuan itu. Mereka mengajak pemimpin-pemimpin yang lain untuk bersama-sama mendesak agar akses terhadap pemilihan umum diperluas.

Chenault dan Frazier memperingatkan agar bisnis tidak mengabaikan masalah ini. Mereka meminta para CEO untuk menandatangani pernyataan yang menyatakan mereka menentang diskriminasi terhadap pemilih.

The Wall Street Journal melaporkan pernyataan ini dapat muncul lebih awal pada pekan dan berdasarkan pernyataan 72 eksekutif warga Afrika-Amerika bulan lalu yang menentang perubahan undang-undang pemilu di Georgia. Beberapa pekan terakhir sejumlah perusahaan dan pemimpin mereka sudah berbicara mengenai isu ini.

Anggota parlemen dari Partai Republik Mitch McConnell menyerang aksi tersebut. Sementara banyak aktivis mengatakan perusahaan besar tidak berbuat banyak.

Pusat penelitian kebijakan publik Brennan Center for Justice mengatakan lusinan negara bagian sedang mempertimbangkan 350 rancangan undang-undang pemilu baru. The Wall Street Journal mengatakan para CEO menilai banyak pasal dalam undang-undang itu bersifat rasialis dan membatasi.

Beberapa peserta lainnya merasa undang-undang itu mengancam demokrasi. Banyak perusahaan yang menunjukkan dukungan pada pernyataan itu. Beberapa di antaranya tetap bungkam untuk isu politik. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement