Senin 02 Nov 2020 21:41 WIB

Tommy Sumardi Didakwa Jadi Perantara Suap Djoko Tjandra

Tommy Sumardi didakwa menjadi perantara suap Djoko Tjandra kepada dua jenderal Polri.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Tommy Sumardi bersiap menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). Tommy Sumardi yang merupakan pengusaha didakwa turut membantu Djoko Tjandra dalam menyuap  Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte  dan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Tommy Sumardi bersiap menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). Tommy Sumardi yang merupakan pengusaha didakwa turut membantu Djoko Tjandra dalam menyuap Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha Tommy Sumardi didakwa menjadi perantara suap dua petinggi Polri, yakni Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte serta Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Kepolisian Brigjen Prasetijo Utomo. Suap tersebut merupakan pemberian dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra agar namanya dihapus dalam red notice Interpol Polri.

"Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Supaya Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo, menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi," kata jaksa penuntut umum (JPU) Wartono membacakan surat dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Senin (2/11).

Baca Juga

Dalam dakwaan dijabarkan, awalnya Tommy  Sumardi diminta Djoko Tjandra untuk melihat status red notice terhadap namanya di Indonesia. Sebelumnya, Djoko Tjandra mendapatkan informasi Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.

"Agar Joko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Djoko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp 10 miliar melalui H Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," kata Jaksa. 

Tommy lantas meminta bantuan kepada Mantan Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, di kantornya. Tommy meminta Prasetijo untuk memeriksa status Interpol red notice Djoko Tjandra.  Pada 9 April 2020, Tommy mengirim pesan singkat yang berisi file surat dari istri Djoko Tjandra. Setelahnya, Prasetijo meneruskan pesan singkat itu kepada seseorang bernama Brigadir Fortes.

Lalu, dia memberi perintah pada Brigadir Fortes untuk mengedit surat tersebut sesuai format permohonan penghapusan red notice. "Setelah selesai diedit Brigadir Fortes mengirimkan kembali file tersebut untuk dikoreksi Brigjen Prasetijo, yang selanjutnya file konsep surat tersebut dikirimkan oleh Brigjen Prasetijo kepada Tommy Sumardi," ujar Jaksa.

Tak lama kemudian, Prasetijo mengenalkan Tommy Sumardi kepada Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri saat itu. Pada 16 April 2020, Tommy dengan membawa paper bag warna gelap (merah tua) tiba di ruangan Napoleon yang berada di Gedung TNCC Mabes Polri. Namun, di dalam dakwaan tak disebutkan secara rinci isi dari paper bag tersebut. 

Saat itu, Tommy menanyakan kepada Napoleon ihwal status interpol Red Notice Djoko. Lalu, Napoleon mengaku akan memeriksanya dan meminta Tommy untuk datang kembali keesokan harinya. 

Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo menemui Napoleon Bonaparte di ruangan Kadiv Hubinter Polri. Dalam pertemuan tersebut Napoleon menyampaikan bahwa Red Notice Djoko bisa dibuka, karena kantor pusat Interpol di Lyon yang membuka. 

Dalam pertemuan itu, Napoleon mengaku bisa membantu menghapus red notice di Indonesia asal dibayar Rp 3 miliar. Pada 27 April Djoko Tjandra memerintahkan Sekretarisnya Nurmawan Fransisca untuk menyerahkan uang senilai 100 ribu dollar AS ke Tommy Sumardi.

Tommy pun kembali menemui Napoleon bersama Brigjen Prasetijo. Di tengah perjalanan menuju tempat Napoleon, Prasetijo pun sempat melihat isi tas Tommy yang berisi 100 ribu dollar AS  

Prasetijo pun menanyakan jatah duit untuk dirinya ke Tommy. Akhirnya, uang itu 'dibelah dua' oleh Prasetijo.  Singkat cerita, Tommy dan Prasetijo tiba di ruangan Napoleon. Prasetijo pun menyerahkan sisa 50 ribu dollar AS itu ke Napoleon. Namun, Napoleon tidak mau menerima uang tersebut.

Napoleon pun meminta harga senilai Rp 7 miliar dengan alasan untuk mengamankan atasannya juga. Dalam dakwaan, tidak disebut "petinggi kita" yang dimaksud Napoleon. Belum diketahui, siapa petinggi yang dimaksud. Dalam dakwaan pun tidak disebut siapa atasannya itu. 

"Naik ji (Tommy Sumardi, red) jadi Rp  7 (miliar) Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata "Petinggi Kita Ini"," kata jaksa menirukan pernyataan Napoleon. 

Tommy akhirnya menyerahkan uang sekitar Rp 6 miliar secara bertahap kepada Napoleon di ruang kerjanya. Uang suap dari Djoko Tjandra tersebut diberikan Tommy kepada Napoleon dalam bentuk  200 ribu dollar Singapura dan  270 ribu dollar AS. 

Atas perbuatannya, Tommy didakwa melanggar Pasal 13 Undang-Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement