Senin 05 Oct 2020 12:25 WIB

Penelitian Temukan Keterkaitan Stres dan Depresi

Penelitian dari Swedia temukan keterkaitan stres dan depresi pada studi terbaru.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Penelitian dari Swedia temukan keterkaitan stres dan depresi pada studi terbaru (Foto: ilustrasi depresi)
Foto: Sciencealert
Penelitian dari Swedia temukan keterkaitan stres dan depresi pada studi terbaru (Foto: ilustrasi depresi)

REPUBLIKA.CO.ID, SOLNA -- Stres dan depresi merupakan dua kondisi mental yang sama-sama berdampak besar bagi pengidapnya. Para peneliti di Karolinska Institutet di Swedia mencoba menemukan keterkaitan antara keduanya pada sebuah studi terbaru.

Temuan mereka yang dipublikasikan dalam jurnal Molecular Psychiatry mengidentifikasi fungsi baru dari protein di otak yang disebut p11. Protein ini penting untuk fungsi zat pengatur suasana hati serotonin dan untuk pelepasan hormon stres.

Baca Juga

Kelompok riset di Karolinska Institutet sebelumnya telah menunjukkan bahwa p11 memainkan peran penting dalam fungsi mengatur suasana hati. Diketahui pula bahwa pasien depresi dan korban bunuh diri memiliki tingkat p11 yang lebih rendah.

Tikus laboratorium yang mengalami penurunan tingkat p11 juga menunjukkan perilaku seperti depresi dan kecemasan. Tim periset menjumpai, kadar p11 pada tikus dapat dinaikkan dengan konsumsi beberapa antidepresan.

Sementara, studi terbaru menunjukkan bahwa p11 mempengaruhi pelepasan awal hormon stres kortisol dengan memodulasi aktivitas neuron tertentu di area otak hipotalamus. Pengaruh ditengarai terjadi melalui jalur sinyal yang sama sekali berbeda di batang otak.

Protein itu juga memengaruhi pelepasan hormon adrenalin dan noradrenalin. Selain itu, tes menunjukkan bahwa tikus dengan defisiensi p11 bereaksi lebih kuat terhadap stres, dengan detak jantung lebih kencang dan lebih banyak tanda kecemasan.

Salah satu peneliti, Vasco Sousa, mengatakan respons stres yang tidak normal dapat memicu atau memperburuk depresi. Kondisi itu juga dapat menyebabkan gangguan kecemasan dan memicu penyakit kardiovaskular.

"Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah hubungan antara defisiensi p11 dan respons stres yang kita lihat pada tikus juga dapat dilihat pada pasien (manusia)," ucap Sousa yang merupakan peneliti Departemen Ilmu Saraf Klinis di Karolinska Institutet.

Pemimpin studi, Per Svenningsson, percaya bahwa temuan baru mereka akan berimplikasi pada pengembangan obat baru yang lebih efektif. Ada kebutuhan besar untuk jenis perawatan baru karena antidepresan saat ini tidak cukup efektif bagi banyak pasien.

Profesor di Departemen Ilmu Saraf Klinis, Karolinska Institutet, itu menyebutnya satu pendekatan menjanjikan yang melibatkan pemberian agen yang meningkatkan ekspresi p11 lokal. Eksperimen pun sukses dilakukan pada hewan yang mengalami depresi.

Meski telah menemukan relasi antara stres dan depresi, para peneliti belum mengetahui mekanisme di baliknya atau bagaimana pengaturan respons stres. Karena itu, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk mengeksplorasi dan menemukan penjelasan.

"Pendekatan lainnya yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut melibatkan pengembangan obat yang menghambat inisiasi respons hormon stres di otak," kata Svenningsson, dikutip dari laman Forbes, Senin (5/10).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement