Selasa 14 Jul 2020 23:09 WIB

Pakar Sejarah Ini Tarik Benang Merah Erdogan dan Mehmed II

Guru besar sejarah UIN Yogyakarta tarik kesamaan Erdogan dan Fatih.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Orang-orang mengunjungi era Bizantium Hagia Sophia, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO dan salah satu tempat wisata utama Istanbul di distrik bersejarah Sultanahmet di Istanbul, Kamis, 25 Juni 2020. Dewan Negara Turki, pengadilan administratif tertinggi negara itu diharapkan Jumat, 10 Juli 2020, untuk mengeluarkan putusan tentang petisi yang meminta keputusan 1934 yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum dibatalkan.
Foto: AP Photo/Emrah Gurel
Orang-orang mengunjungi era Bizantium Hagia Sophia, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO dan salah satu tempat wisata utama Istanbul di distrik bersejarah Sultanahmet di Istanbul, Kamis, 25 Juni 2020. Dewan Negara Turki, pengadilan administratif tertinggi negara itu diharapkan Jumat, 10 Juli 2020, untuk mengeluarkan putusan tentang petisi yang meminta keputusan 1934 yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum dibatalkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Membahas tentang sejarah Hagia Sophia sangat terkait dengan sejarah penaklukan Turki Usmani atas wilayah kekuasaan Romawi, yaitu pada masa Sultan (Mehmed II) Muhammad II Fatih ibn Murad II (1451-1481). 

Sultan Turki yang lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Al Fatih (Sang Penakluk) ini berhasil menguasai Konstantinopel, ibukota kerajaan Romawi, pada 1453.

Baca Juga

Sejarawan Islam Universitas UIN Sunan Kaliajaga Yogyakarta, Prof Dudung Abdurahman, mengatakan, pada masanya Konstantinopel sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pusat agama Kristen Ortodoks, memiliki kedudukan yang sangat strategis yang dapat menghubungkan secara langsung antara Eropa dan Asia, dan ketika itu diwarisi serta diteruskan peranannya oleh Utsmani.

Seiring penaklukan Konstantinopel tersebut, selain diubahnya menjadi Istambul sebagai ibukota Usmani pada 28 Mei 1453, juga Muhammad Al Fatih merubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. 

Di samping itu dia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.

“Meskipun demikian, kebebasan beragama dijamin, dan orang-orang Yahudi dan Kristen diorganisasi dalam millet yang otonom,” ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (14/7).

Semenjak itu, sensibilitas Usmani tercermin di dalam seni arsitektur. Sejumlah masjid dan perguruan Usmani mengekspresikan besarnya perhatian Utsmani terhadap ajaran Islam, bahkan Utsmani juga merancang beberapa feature seperti kubah tunggal yang sangat besar, menara-menara yang tinggi menjulang, sejumlah bangunan tiang yang menyangga ruang tengah istana, menunjukkan pengaruh kuat model Hagia Sophia, gereja Byzantium yang terbesar.

Seperti itulah masjid-masjid Utsmani memperagakan pola gereja-gereja timur yang terbesar, misalnya "Kubah Batu" di Yerussalem, dan mengekspresikan ketinggian Islam dalam persaingannya dengan Kristen. Khoja Sinan (1490-1578) adalah tokoh terbesar dalam bidang seni arsitektur ini.

Mengutip Encyclopedia Britannica, bahwa masjid Hagia Sophia berubah menjadi museum pada 1935. Dalam ensiklopedi tersebut disebut dengan nama Hagia Sophia, dan disebut juga sebagai Ayasophia dalam bahasa Turki.

Perubahan ini terjadi pada masa Musthafa Kemal Ataturk, pendiri Turki Modern atau Republik Turki sekarang, yang berkuasa dari 1924-1939. 

Kemal mengembangkan Turki sebagai negara sekuler. Karena itu perubahan masjid menjadi museum itu sangatlah mungkin sebagai salah satu implementasi dari proyek sekularisasi yang dicanangkan Ataturk (Bapak Turki) yang tekenal diktator itu.  

“Kini Turki dalam kepemimpinan Erdogan, yang kebijakan-kebijakan politiknya banyak mengarahkan pada islamisasi Turki modern, mengingatkan kegigihan Muhammad Fatih pada masa penaklukan Konstantinopel dan membangun Turki Utsmani sebagai pusat peradaban Islam,” kata Prof Dudung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement