Kamis 08 Jun 2023 13:50 WIB

Ini Bahaya Jika MK Berani Putuskan Kebenaran Satu Sistem Pemilu Menurut Pakar

Jika MK tentukan satu pemilu yang paling benar, maka keputusan itu bernilai politis.

Rep: Febryan A/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah).
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Mahkamah Konstitusi dinilai bisa berbahaya jika memutuskan sistem pemilu mana yang paling benar berdasarkan konstitusi.  Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyatakan, apabila MK memutuskan sebuah sistem pemilu yang konstitusional, maka sama saja para hakim mengambil alih kuasa lembaga pembentuk undang-undang. Demokrasi pun berganti menjadi yuristokrasi. 

Zainal menjelaskan, pada dasarnya, pilihan antara sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka bukanlah isu konstitusional. Sebab, tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan sistem pemilihan legislatif apa yang harus digunakan. 

Baca Juga

Bahwa Pasal 22E UUD 1945 menyatakan peserta pemilihan legislatif adalah partai politik, bukan berarti sistem yang harus digunakan adalah proporsional tertutup. "Baik dalam sistem proporsional tertutup maupun terbuka, pesertanya tetap partai politik," tegasnya dalam diskusi daring yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, dikutip Kamis (8/6/2023). 

Zainal mengatakan, karena pilihan sistem pemilu bukanlah isu konstitusional, MK seharusnya menyatakan bahwa pilihan sistem adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Artinya, penentuan sistem pemilu merupakan domain lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden. Biarkan pilihan sistem menjadi bagian dari kesepakatan politik dengan mempertimbangkan untung ruginya ketika diterapkan. 

Apabila MK tetap memutuskan sistem pemilu yang harus digunakan, lanjut dia, berarti hakim konstitusi masuk ke dalam ranah kuasa lembaga demokrasi. "Ini bisa menggeser sistem demokrasi menjadi yuristokrasi, yakni ketika keputusan politik ditentukan oleh para hakim yang jelas adalah orang yang tidak dipilih secara demokratis," kata Zainal

Menurut dia, menguatnya yuristokrasi membahayakan kepentingan publik. Sebab, masyarakat cenderung tidak bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada para hakim. Lain halnya dengan proses legislasi di parlemen, masyarakat bisa menyampaikan aspirasinya kepada para wakil rakyat maupun presiden. 

"Dalam proses pengadilan agak jauh prinsip kedaulatan rakyat itu terjadi. Karena itu, sedari awal harus dibatasi betul yuristokrasi," kata Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum UGM itu. 

Masalahnya, kata dia, MK kerap tidak konsisten dalam memutus perkara terkait pasal open legal policy. Salah satu contohnya dalam memutuskan perkara masa jabatan. Biasanya MK menyatakan bahwa durasi masa jabatan adalah open legal policy. Namun, baru-baru ini MK memperpanjang masa jabatan komisioner KPK. 

Melihat hal itu, Zainal khawatir MK akan memutuskan salah satu sistem pemilu yang konstitusional dan harus diterapkan. Apabila itu terjadi, dia menilai MK tidak lagi membuat keputusan berdasarkan isu konstitusionalitas, melainkan atas kepentingan politik. "Ini berbahaya," kata peraih gelar master ilmu hukum dari Northwestern University, Amerika Serikat, itu. 

Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Mereka meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional tertutup yang konstitusional sehingga bisa diterapkan dalam gelaran Pemilu 2024. Hingga kini MK belum membuat putusan. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan adalah caleg dengan nomor urut teratas yang ditentukan oleh partai politik. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg maupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, dan sedang digunakan dalam tahapan Pemilu 2024. 

Pakar ilmu politik punya pandangan beragam terkait sistem mana yang paling tepat digunakan untuk pemilu Indonesia ke depan. Sebagian menilai sistem proporsional masih cocok digunakan. Sebagian lain menilai sistem proporsional tertutup yang baik. Ada pula yang menilai sistem proporsional tertutup yang tepat asalkan internal partai politik diperbaiki terlebih dahulu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement