Rabu 27 Jul 2022 05:20 WIB

Ini Tiga Kesalahpahaman Guru Soal Kurikulum Merdeka Belajar

Miskonsepsi itu mulai dari kebutuhan belajar siswa sampai hasil akhir pembelajaran.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Ada tiga miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang Kurikulum Merdeka Belajar ketika awal mulai dikenalkan.
Foto: ANTARA/Andi Bagasela
Ilustrasi. Ada tiga miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang Kurikulum Merdeka Belajar ketika awal mulai dikenalkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru Penggerak Angkatan III dari SMP Negeri I Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Yenni Puspandari, berpendapat, ada tiga miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang Kurikulum Merdeka Belajar ketika awal mulai dikenalkan. Miskonsepsi itu mulai dari kebutuhan belajar siswa sampai hasil akhir pembelajaran.

Yenni menjelaskan, miskonsepsi pertama adalah pandangan bahwa siswa dalam satu kelas mempunyai kebutuhan belajar yang sama. Konsep seperti ini harus segera diubah karena setiap siswa ini unik.

Baca Juga

“Mereka mempunyai karakter yang berbeda, mempunyai kebutuhan dan cara belajar yang berbeda, sehingga sebagai guru tidak boleh memperlakukan dengan sama,” kata Yenni dalam keterangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Selasa (26/7/2022).

Miskonsepsi berikutnya terkait dengan administrasi pembelajaran. Beberapa guru masih bingung dengan format modul ajar.

Menurut dia, Kemendikbudristek sudah sering menyampaikan, pemerintah sudah memfasilitasi hal tersebut dengan aplikasi Merdeka Mengajar. Lewat aplikasi tersebut, guru  bisa berselancar, membaca, dan menggali referensi terkait modul ajar.

"Formatnya tidak perlu sama, disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, konteks isi disesuaikan dengan kurikulum yang diterapkan," kata dia.

Miskonsepsi ketiga, yakni pembelajaran proyek lintas mata pelajaran berorientasi pada hasil produknya. Yenni mengatakan, produk yang baik menjadi kebanggaan bagi satuan pendidikan atau siswa.

Namun, ada yang tidak boleh dilupakan, yaitu proses yang terjadi, bagaimana siswa berinteraksi, berkomunikasi, mengembangkan profil Pelajar Pancasila. "Proses-proses ini yang harusnya dikuatkan. Kemudian dengan melakukan hal tersebut kita sudah bersinergi dan sejalan dengan pemerintah untuk mempercepat pengembangan profil Pelajar Pancasila,” kata dia.

Yenni menambahkan, pesan yang ingin disampaikan dalam Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran yang mengadopsi dari falsafah Ki Hajar Dewantara. Lewat falsafah itu, pembelajaran dilakukan secara konkret untuk melayani kebutuhan siswa.

Kemendikbudristek terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, organisasi-organisasi guru, dan lainnya untuk memberikan pemahaman terkait Kurikulum Merdeka agar tidak terjadi miskonsepsi. Langkah tersebut dilakukan melalui unit-unit pelaksana teknis (UPT) yang ada di setiap provinsi di seluruh Indonesia.

"Kurikulum Merdeka dirancang untuk memudahkan guru dalam mengajar yang berorientasi pada murid, sehingga menghadirkan pengalaman belajar yang terbaik bagi anak-anak kita," ujar Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo.

Terkait timbulnya berbagai pandangan tentang implementasi Kurikulum Merdeka, pria yang kerap disapa Nino itu memberikan apresiasi kepada kepala sekolah dan guru yang aktif belajar mandiri melalui platform Merdeka Mengajar. Dengan upaya yang mereka lakukan tersebut, miskonsepsi-miskonsepsi yang terjadi dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut dapat diluruskan. 

"Banyak modul pelatihan guru dan kepala sekolah di platform Merdeka Mengajar. Modul diakses gratis menggunakan akun belajar.id. Panduan pembelajaran dan informasi terkait kurikulum dapat diakses melalui laman resmi kurikulum.kemdikbud.go.id. Kepala sekolah dan guru dapat belajar mandiri melalui platform yang telah disediakan tersebut,” kata Nino.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement