Kamis 13 Jan 2022 18:11 WIB

Eks Petinju Vitali Klitschko Siap Jika Harus Berperang Melawan Rusia

Vitali Klitschko berharap tidak ada perang antara Ukraina dan Rusia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Vitali Klitschko
Foto: Reuters/David Mdzinarishvili
Vitali Klitschko

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Wali Kota Kiev Vitali Klitschko yang juga eks petinju kelas berat mengkritik kehadiran pasukan Rusia di perbatasan Ukraina. Dia mengisyaratkan negaranya siap menghadapi setiap potensi agresi.

“Jika eskalasi meningkat, kami harus siap untuk mempertahankan kemerdekaan dan integritas negara kami. Pertahanan sipil juga harus bersiap,” kata Klitschko saat diwawancara CNN dalam program “Connect the World”, Rabu (12/1/2022).

Baca Juga

Dia secara pribadi tak mengharapkan adanya pertempuran. “Itu adalah kasus terburuk. Tapi kami harus siap,” ujar tokoh yang pernah menjuarai kejuaraan tinju kelas berat tersebut.

Klitschko turut mengkritik pertemuan antara perwakilan Rusia dan Amerika Serikat (AS) di Jenewa, Swiss, untuk membahas ketegangan Ukraina. Kritik serupa dia sampaikan terkait pertemuan Moskow dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Belgia. Hal itu karena pembicaraan itu dilakukan tanpa melibatkan negaranya. “Semua orang berbicara tentang Ukraina, tanpa Ukraina,” ucapnya.

Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman mengungkapkan, Rusia belum berkomitmen mengurangi ketegangan setelah dua putaran pembicaraan diplomatik pekan ini. Sherman mengaku sulit memahami bagaimana Rusia bisa merasa terancam oleh Ukraina ketika mereka memiliki militer konvensional terbesar di Eropa.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan.

Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana.

Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements. Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.

Krisis kemanusiaan

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengatakan, konflik yang sedang berlangsung di perbatasan Ukraina-Rusia menimbulkan konsekuensi krisis kemanusiaan dan krisis kesejahteraan masyarakat. Konflik juga dapat merusak rumah penduduk dan infrastruktur penting.

Direktur Operasi ICRC, Dominik Stillhart, mengatakan, konflik Ukraina-Rusia telah berlangsung selama hampir delapan tahun. Banyak warga Ukraina yang menderita akibat pertempuran tersebut.

"Ukraina mungkin selalu menjadi berita utama, tetapi mereka tidak pernah berhenti menjadi berita utama bagi orang-orang yang menderita akibat pertempuran," kata Stillhart seperti dilansir Anadolu Agency, Kamis (13/1/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement