Sabtu 23 Oct 2021 12:12 WIB

Pejabat PBB Khawatirkan Eskalasi Kekerasan Militer Myanmar

Kekerasan militer terhadap warga sipil penentang kudeta meningkat

Kekerasan militer terhadap warga sipil penentang kudeta meningkat. Ilustrasi  Polisi berkumpul di luar pengadilan Kamayut di Yangon, Myanmar Jumat, (12/3).
Foto: AP
Kekerasan militer terhadap warga sipil penentang kudeta meningkat. Ilustrasi Polisi berkumpul di luar pengadilan Kamayut di Yangon, Myanmar Jumat, (12/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pejabat PBB pada Jumat (22/10) mengaku khawatir dengan peningkatan kekerasan militer terhadap warga sipil dan penentang kudeta di Myanmar setelah angkatan darat mengintensifkan pengerahan tentaranya ke wilayah utara.

Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, mengatakan pengerahan puluhan ribu pasukan, senjata berat, dan aset militer lainnya ke wilayah utara dan barat laut mengingatkan taktik serupa oleh militer sebelum serangan genosida terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2016-2017.

Baca Juga

"Kita semua harus siap, saat rakyat di wilayah Myanmar ini bersiap menghadapi lebih banyak lagi kejahatan massal yang sadis. Saya berharap bahwa saya salah," katanya kepada Majelis Umum lewat sebuah laporan tentang situasi terkini di Myanmar.

Andrews mendesak komunitas internasional untuk "menutup pintu" uang, senjata dan legitimasi bagi militer Myanmar. Dia mencatat bahwa sanksi semacam itu berhasil, merujuk pada pembebasan ribuan tahanan politik baru-baru ini.

Andrews kembali menegaskan seruannya kepada Dewan Keamanan agar memberlakukan embargo senjata terhadap junta militer.Menurutnya, sanksi-sanksi belum cukup mempengaruhi kemampuan junta untuk terus merampas pendapatan dan devisa negara guna memperkaya para pemimpin dan membiayai serangan terhadap penduduk warga sipil.

"Satu-satunya sumber pendapatan terbesar junta adalah industri migas. Saya mengajak negara-negara anggota agar menuruti seruan dari ratusan organisasi masyarakat sipil di Myanmar yang meminta agar Myanmar Oil andGas Enterprise dijatuhi sanksi," katanya.

Kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari militer Myanmar merebut kekuasaan setelah muncul dugaan kecurangan pada pemilu 2020 dan ketegangan politik di negara tersebut. Militer menangkap sejumlah besar pejabat dan pemimpin partai berkuasa serta menyatakan status darurat selama setahun.

Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 1.100 orang tewas dan 9.000 demonstran ditangkap setelah militer melakukan intervensi terhadap massa antikudeta dan kelompok pemberontak.Aksi protes besar-besaran menolak kudeta masih berlangsung saat persidangan pejabat pemerintah senior di pengadilan militer berlanjut. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement