Rabu 13 Oct 2021 00:40 WIB

Konten Pamer Gaya Hidup di Medos Jadi Pemicu Prostitusi Anak

Para pelaku prostitusi terpengaruh gaya hidup yang bersilewaran di media sosial.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.
Foto: dokpri
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini praktik komersialisasi seksual yang melibatkan anak di bawah umur semakin marak. Mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi media sosial untuk menawarkan jasa prostitusi anak. Terakhir terbongkarnya prostitusi anak di salah satu apartement di Jakarta Timur.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai saat ini motif prostitusi bukan lagi sekadar memenuhi ekonomi dasar tapi untuk memenuhi kebutuhan yang bukan utama. Karena, para pelaku prostitusi terpengaruh gaya hidup yang bersilewaran di media sosial. Namun hal itu berdasarkan data di luar negeri bukan di Indonesia.

Baca Juga

"Karena pengaruh, misalnya gaya hidup. Jadi memang dunia online yang menampilkan deretan kehidupan orang lain yang sebenarnya belum tentu merepresentasikan kehidupan nyata," ujar Devie saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (12/10).

Devie mengatakan, banyaknya konten yang memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah membuat genarasi-generasi muda itu menjadi lebih mudah merasa tidak nyaman dengan dirinya. Akibatnya mereka terus berpacu mengikuti standar kehidupan yang ditampilkan secara visual di media sosial. Padahal riset-riset menunjukkan apa yang ditampilkan media sosial itu tidak sepenuhnya menggambarkan kehidupan nyata.

"Jadi banyak berdasarkan kepalsuan sebenarnya, ini mendorong bagi orang-orang yang melihatnya ingin mencukupi hidup yang gaya," tutur Devie.

Sedangkan, kata Devie, mereka menganggap cara mudah untuk mendapatkan uang adalah dengan menjual diri atau menjadi mucikari. Disamping itu, praktik kotor tersebut menandakan bahwa memang teknologi dapat menghadirkan kemudahan untuk semua orang. Termasuk menawarkan jasa pemuas nafsu birahi dengan objek anak di bawah umur di ruang digital.

"Ini membuat siapapun jadi rentan untuk terjebak pada praktik-praktik dunia online yang tidak sepenuhnya positif," tutup Devie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement