Kamis 07 Oct 2021 06:49 WIB

Parlemen Turki Ratifikasi Perjanjian Iklim dengan Perubahan

Sebanyak 353 anggota parlemen Turki meratifikasi perjanjian dengan suara bulat.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Perubahan iklim (Ilustrasi)
Foto: PxHere
Perubahan iklim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Parlemen Turki meratifikasi perjanjian iklim Paris pada Rabu (6/10). Langkah tersebut menjadikannya negara G20 terakhir yang melakukannya, setelah menunda selama bertahun-tahun.

Sebanyak 353 anggota parlemen Turki meratifikasi perjanjian dengan suara bulat. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) saat ini mencantumkan Turki dalam kelompok Annex I, yang digambarkan sebagai negara-negara industri.

Baca Juga

Sebuah pernyataan yang disetujui oleh parlemen mengatakan Turki meratifikasi kesepakatan itu sebagai negara berkembang. Ankara akan menerapkannya selama tidak merugikan haknya untuk pembangunan ekonomi dan sosial.

Turki telah menandatangani perjanjian Paris sejak April 2016. Namun, Ankara belum meratifikasi kesepakatan itu dengan alasan bahwa itu tanggung jawab negara maju sebagai bagian dari perjanjian, hanya saja malah memberinya lebih banyak tanggung jawab, karena Turki secara historis hanya mengeluarkan sangat kecil dari emisi karbon.

Turki juga telah mengirimkan proposal ke Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman, agar namanya dihapus dari daftar Annex I. Jika Turki dikeluarkan dari daftar negara-negara Annex I, Turki akan dapat memperoleh manfaat dari investasi, asuransi, dan transfer teknologi yang dapat diberikan sebagai bagian dari perjanjian. Usulan tersebut merupakan agenda sementara untuk Konferensi Perubahan Iklim COP26 yang akan diadakan di Glasgow mulai 31 Oktober hingga 12 November.

Berbicara di parlemen, anggota parlemen oposisi utama Partai Rakyat Republik (CHP) Jale Nur Sullu, mengatakan tidak jelas apa hasil dari meratifikasi kesepakatan sebagai negara berkembang tanpa perubahan status yang disetujui pada konferensi iklim. Sedangkan anggota Partai Buruh Turki, Sera Kadigil Sutlu, mempertanyakan pemerintah akan meninggalkan proyek-proyek industri yang dikritik sebagai berbahaya bagi lingkungan setelah perjanjian diratifikasi.

"Apakah Anda akan melarang penambangan logam di (wilayah) Laut Hitam? Akankah Anda menghidupkan kembali proyek-proyek konyol seperti Kanal Istanbul? ... Saya tahu Anda tidak akan melakukannya," kata Sutlu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement