Senin 23 Aug 2021 22:34 WIB

12 Juta Warga Irak dan Suriah Hadapi Krisis Air Parah

Wilayah Irak dan Suriah mengalami kekeringan akibat perubahan iklim

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Wilayah Irak dan Suriah mengalami kekeringan akibat perubahan iklim. Ilustrasi kekeringan air
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Wilayah Irak dan Suriah mengalami kekeringan akibat perubahan iklim. Ilustrasi kekeringan air

IHRAM.CO.ID, DAMASKUS –  Lebih dari 12 juta warga di Suriah dan Irak kehilangan akses ke air, makanan, dan listrik. Kekeringan, yang dipicu perubahan iklim, menjadi penyebab utama terciptanya krisis tersebut.  

Sebanyak 13 kelompok bantuan internasional mendokumentasikan kondisi di Irak dan Suriah dalam sebuah laporan bersama yang diterbitkan pada Senin (23/8). 

Baca Juga

Norwegian Refugee Council, the Danish Refugee Council, CARE, Action Against Hunger, dan Mercy Corps adalah beberapa kelompok yang turut andil dalam menyusun laporan tersebut. 

Mereka mengatakan, meningkatnya suhu, rekor tingkat hujan yang rendah, dan kekeringan menjadi penyebab utama warga di Irak serta Suriah kehilangan akses air untuk minum, termasuk irigasi. Suriah menghadapi kekeringan terburuk dalam 70 tahun.  

Minimnya sumber daya air turut mengganggu operasi pembangkit listrik. Sebab tak ada aliran air di bendungan. Pasokan listrik, termasuk untuk fasilitas vital seperti kesehatan, akhirnya terdampak.  

Direktur Regional Norwegian Refugee Council, Carsten Hansen, mengatakan, kehancuran total produksi air bagi jutaan warga Suriah dan Irak sudah dekat. "Dengan ratusan ribu warga Irak masih mengungsi dan lebih banyak lagi yang masih melarikan diri untuk hidup mereka di Suriah, krisis air yang berlangsung akan segera menjadi bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mendorong lebih banyak pengungsi," ujar Hansen, dikutip laman Aljazirah.  

Menurut laporan PBB pada Juni lalu, sejak musim gugur 2020, tingkat curah hujan yang sangat rendah di seluruh cekungan Mediterania timur telah berkontribusi pada kondisi kekeringan di Suriah dan Irak. 

Krisis air diperparah dengan kian berkurangnya aliran air ke Sungai Eufrat selama berbulan-bulan. Angkanya turun dari 500 meter kubik per detik pada Januari menjadi 214 meter kubik per detik pada Juni 2020. 

Menurut laporan 13 kelompok bantuan internasional, kondisi demikian membuat lebih dari lima juta warga Suriah yang bergantung pada air sungai terkena dampak langsung. Ratusan kilometer lahan pertanian terancam kekeringan total.  

"Tahun ini kami menyaksikan gelombang kekeringan hebat dan akibatnya, tanah kami tidak menghasilkan tanaman apa pun. Kami tidak memiliki sumber air minum, baik untuk kami maupun hewan kami," kata Abdallah, seorang pemimpin suku dari Al Sebat.  

Pada saat bersamaan, dengan dua bendungan di Suriah utara yang akan segera ditutup, sekitar tiga juta warga berisiko kehilangan akses listrik. Sejak penurunan ketinggian air, masyarakat di beberapa daerah seperti Hassakeh, Aleppo, Raqqa, dan Deir Az Zor, telah menyaksikan peningkatan wabah yang ditularkan melalui air seperti diare. 

Sementara di Irak, sebagian besar lahan pertanian, perikanan, produksi listrik, dan sumber air minum telah habis. Setidaknya tujuh juta warga di sana terancam kehidupannya. Di Provinsi Niniwe, produksi gandum diperkirakan turun 70 persen akibat kekeringan.  

Sejumlah keluarga di Provinsi Anbar yang tak memiliki akses ke air sungai harus mengeluarkan uang sekitar Rp1,1 juta per bulan untuk memperoleh air. Nominal itu tak terjangkau untuk sebagian besar keluarga di sana.  

Direktur Regional CARE untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Nirvana Shawky, mengatakan krisis air di Suriah dan Irak diperparah pandemi Covid-19. Menurutnya, pihak berwenang di kawasan dan donor perlu bertindak cepat guna menyelmatkan warga di sana. "Dalam jangka panjang, di luar makanan dan air darurat, mereka perlu berinvestasi dalam solusi berkelanjutan untuk krisis air," ucapnya.  

Direktur Regional the Danish Refugee Council's Middle East, Gerry Garvey, memperingatkan krisis air pasti akan memburuk dan membuat kawasan itu tak stabil. "Kemungkinan akan meningkatkan konflik. Tidak ada waktu untuk disia-siakan. Kita harus menemukan solusi berkelanjutan yang akan menjamin air serta makanan hari ini dan untuk generasi mendatang," ujar Garvey.      

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement