Senin 12 Jul 2021 12:08 WIB

AS Utus Delegasi Pantau Situasi Keamanan Haiti

Haiti minta AS dan PBB kirim pasukan ke negara tersebut lindungi infrastruktur vital

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Petugas polisi dengan senjata terhunus mencari tersangka dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise, di Port-au-Prince, Haiti, Kamis, 8 Juli 2021.
Foto: AP/Joseph Odelyn
Petugas polisi dengan senjata terhunus mencari tersangka dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise, di Port-au-Prince, Haiti, Kamis, 8 Juli 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT AU PRINCE – Amerika Serikat (AS) akan mengutus delegasi ke Haiti untuk menilai situasi keamanan pasca-pembunuhan Presiden Jovenel Moise pekan lalu. Delegasi tersebut bakal turut bertemu tiga politisi Haiti mengklaim sebagai pemimpin sah negara.

Dilaporkan laman BBC, delegasi AS terdiri dari pejabat keamanan dan peradilan senior. Setelah pembunuhan Moise, otoritas Haiti meminta AS dan PBB mengirim pasukan ke negara tersebut untuk melindungi infrastruktur vital. Awalnya, Presiden AS Joe Biden menolak permintaan tersebut. Namun saat ini Biden memutuskan melihat situasinya lebih dekat.

Baca Juga

Moise dibunuh di kediamannya di Port-au-Prince pada 7 Juli lalu. Dia dihabisi oleh 28 tentara bayaran asing, termasuk pensiunan tentara Kolombia. Istri Moise, Martine, turut terluka dalam serangan brutal tersebut. Martine mengatakan aksi pembunuhan terhadap suaminya berlangsung begitu cepat. Moise, kata dia, tak dapat mengatakan sepatah kata pun.

Kepolisian Haiti mengungkapkan mayoritas tentara bayaran yang membunuh Moise adalah warga Kolombia. Ada dua di antaranya yang beralih dan menyandang kewarganegaraan AS. Sebanyak 17 pelaku berhasil ditangkap dan ditahan di Port-au-Prince setelah baku tembak. Tiga tersangka tewas dan delapan lainnya masih dalam proses pengejaran.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan belum dapat mengonfirmasi apakah ada dua warganya yang ditahan. Sementara Pemerintah Kolombia telah berjanji akan membantu upaya penyelidikan otoritas Haiti.

Moise telah menjadi presiden sejak 2017. Masa jabatannya sulit karena dia menghadapi tuduhan korupsi. Selain itu, gelombang demonstrasi juga berlangsung di negara termiskin di Amerika tersebut.

Haiti seharusnya menggelar pemilu parlemen pada Oktober 2019. Namun karena terdapat perselisihan, penyelenggaraannya terpaksa ditunda. Dengan demikian, Moise telah memerintah melalui dekret. Dia telah merencanakan referendum tentang perubahan konstitusi yang diusulkan pada September tahun ini.

Pada Februari lalu, kelompok oposisi Haiti menyerukan Moise melepaskan jabatannya. Kala itu sempat disinggung bahwa upaya pembunuhan terhadapnya, termasuk menggulingkan pemerintahannya, telah digagalkan. Hingga kini masih belum jelas siapa yang mendalangi pembunuhan Moise dan motifnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement