Ahad 11 Jul 2021 14:31 WIB

Warga Myanmar Tolak Bantuan Kesehatan dari Junta Militer

Myanmar mennghadapi lonjakan kasus Covid-19

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
 Petugas kesehatan yang mengenakan APD (Alat pelindung diri) bersiap untuk melakukan tes swab COVID-19 di Myanmar, ilustrasi
Foto: EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Petugas kesehatan yang mengenakan APD (Alat pelindung diri) bersiap untuk melakukan tes swab COVID-19 di Myanmar, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Myanmar berhadapan dengan lonjakan kasus Covid-19 yang membuat pemerintahan junta kewalahan. Terlebih lagi beberapa warga menolak untuk menerima bantuan kesehatan dari militer yang melakukan kudeta pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari.

Myanmar lambat untuk bangkit dari lonjakan kasus Covid-19 sejak pertengahan Mei. Hal itu membuat banyak orang sakit kewalahan dan tidak mendapatkan penanganan dengan cepat.

Baca Juga

Salah satunya Soe Win yang mengantre di sebuah pabrik untuk membeli oksigen bagi neneknya yang sedang berjuang melawan gejala Covid-19. "Saya sudah menunggu dari pukul 05.00 sampai 12.00 tapi saya masih mengantre. Oksigen lebih langka daripada uang,” kata penduduk kota terbesar Myanmar, Yangon.

Nenek Soe Win harus berada di rumah jika mereka tidak dapat menemukan tempat tidur di rumah sakit tentara atau memilih untuk tidak mempercayakan perawatan kepada pemerintah yang sangat tidak disukai. Rumah sakit militer terus beroperasi tetapi dijauhi oleh banyak orang.

Sementara dokter dan perawat yang memboikot sistem negara menjalankan klinik darurat harus menghadapi penangkapan. Kecepatan vaksinasi yang melambat telah mengancam ledakan infeksi.

“Tidak ada orang bijak dengan hati yang baik dan keinginan tulus akan kebenaran yang mau bekerja di bawah pemerintahan junta,” kata pendiri kelompok aksi sipil Clean Yangon yang membantu di pusat karantina, Zeyar Tun.

"Di bawah Suu Kyi, pemerintah dan sukarelawan bekerja sama untuk mengendalikan penyakit ini, tetapi sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan di bawah kekuasaan militer," ujar Zeyar Tun.

Pemerintahan Suu Kyi membuat Myanmar telah melewati lonjakan virus corona kedua yang dimulai pada Agustus tahun lalu dengan sangat membatasi perjalanan, menutup Yangon, dan mengekang kampanye pemilihan di titik-titik virus tempat karantina wilayah diberlakukan. Penggulingan Suu Kyi oleh militer memicu protes yang meluas. Pekerja medis mempelopori gerakan pembangkangan sipil populer yang meminta para profesional dan pegawai negeri untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah yang dibentuk oleh militer.

"Dari Myanmar, rekan-rekan kami di PBB di lapangan mengatakan mereka khawatir tentang peningkatan pesat jumlah kasus Covid-19 yang tercatat,” kata juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Stephane Dujarric.

Dujarric menyatakan, tim PBB memperingatkan bahwa wabah besar Covid-19 akan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat dan ekonomi. "Mereka menekankan pentingnya melanjutkan pemberian layanan kesehatan esensial, menerapkan langkah-langkah untuk mencegah penyebaran virus, dan untuk meningkatkan vaksinasi," ujarnya.

Kementerian Kesehatan Myanmar pada Sabtu (10/7), melaporkan rekor 4.377 kasus baru yang dikonfirmasi dengan total 188.752, serta rekor 71 kematian, sehingga jumlah korban menjadi 3.756. Data tentang vaksinasi tidak begitu jelas, tetapi tampaknya pada bulan lalu, hanya 3,5 juta dosis yang telah diberikan kepada 55 juta orang di negara itu. Artinya maksimum 3,2 persen dari populasi akan divaksinasi penuh dengan dua dosis. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement