Jumat 05 Mar 2021 16:39 WIB

Mengapa Kata 'Jalan' dalam Al-Fatihah Berbentuk Tunggal?

Surat Al-Fatihah menyebutkan kata jalan hanya dalam bentuk tunggal

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Surat Al-Fatihah menyebutkan kata jalan hanya dalam bentuk tunggal.Surat Al-Fatihah
Foto: Republika/ Nashih Nashrullah
Surat Al-Fatihah menyebutkan kata jalan hanya dalam bentuk tunggal.Surat Al-Fatihah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Surat Al-Fatihah sebagai induknya Alquran memang memiliki faedah dan ketentuan yang dapat dipetik sebagai hikmah. Sebagai pegangan yang bisa dijadikan acuan umat Islam.

Dilansir di Alukah, Jumat (5/3), sesungguhnya jalan kebaikan adalah bersumber dari satu Zat, yakni Allah SWT. Maka jalan kebaikan ini kerap disebutkan, diingatkan, kepada manusia melalui beragam jalan yang disediakan, kendati demikian jalan kebaikan yang hak hanyalah satu. Inilah rahasia mengapa dalam surat  surat Al-Fatihah ayat 6-7, disebutkan jalan dengan penggunaan bentuk tunggal.  

Baca Juga

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ  “Ihdina as-shirathal-mustaqim. Shiratha alladzina an’amta alaihim ghairi maghdubi alaihim wa laa ad-dhaaalin.” 

Yang artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” 

Adapun jalan kesesatan memiliki jalan yang bercabang. Jalan yang menyesatkan dan meruntuhkan akidah, maka jalan-jalan kesesatan yang tersebar haruslah sebisa mungkin dihindari. Allah berfirman dalam Alquran surat Al-An’am ayat 153:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ “Wa anna hadza shirathi mustaqiman fattabi’uhu, wa laa tattabi’uu as-subula fatafarraqa bikum an sabilihi. Dzalikum wasshakum bihi, la’allakum tattaqun.” 

Yang artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” 

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa jika ditinjau dalam kajian bahasa, kata ‘shiratal-mustaqim/jalan yang lurus’ dikenali sebagai bentuk kata mufrad (tunggal). Setidaknya terdapat dua hal yang bisa diketahui: yakni dengan adanya huruf lam alif (ta’rif) dan idhafah (penyandaran). 

Ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus itu adalah jalan yang spesial, yang dapat ditempuh dengan ragam lajur, namun hanya satu-satunya jalan lurus yang bersifat satu jalur. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am penggalan ayat 153 tadi.

Adapun jalan kadang kala menyertakan menggiring untuk melakukan tindakan yang diridhai Allah. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Fatihah ayat 7: 

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ Shiratalladzina an’amta alaihim. Maka yang perlu dimengerti adalah bahwa pemahaman penyandaran kepada Allah SWT yang disyariatkan adalah dengan cara beribadah kepada-Nya. Ini juga diingatkan Allah dalam Alquran surat As-Syura ayat 53: 

صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ “Shiratillahi alladzi lahu maa fii as-samawaati wa maa fil-ardhi alaa ilallahi tashirul-umuru.” 

Yang artinya: “(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah lah kembali semua urusan.” 

Sumber: alukah  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement