Selasa 02 Feb 2021 12:28 WIB

Erdogan: Turki akan Susun Konstitusi Baru

Erdogan belum merinci perubahan konstitusi Turki

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Republika
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Senin (1/2) mengatakan, Turki bakal memiliki konstitusi baru. Menurutnya, kini waktunya telah telah tiba bagi Turki untuk memperdebatkan konstitusi baru yang memuat ide-ide baru pada pemerintahannya.

"Mungkin ini waktunya untuk memperdebatkan konstitusi baru. Kami akan segera mempresentasikan kepada publik ide-ide kami tentang paket reformasi baru, filosofi, target, dan tujuannya," ujar Presiden Erdogan seperti dikutip laman Sputnik, Selasa (2/2).

Baca Juga

Erdogan mengatakan, konstitusi baru harus ditulis secara transparan dengan bantuan rakyat. Namun, dia tidak merinci tentang kemungkinan perubahan tersebut.

Turki mengadakan referendum pada 2017 tentang amandemen konstitusi yang memungkinkan Erdogan memenangkan kekuatan baru. Itu berarti Erdogan bisa meminta negara beralih dari demokrasi parlementer ke sistem presidensial. Pemungutan suara tersebut menyusul upaya kudeta yang gagal pada Juli 2016.

Pada April 2018, Erdogan mengumumkan pemilihan presiden dan parlemen cepat. Dia menjelaskan langkah tersebut dengan perlunya beralih ke sistem presidensial di negara tersebut dan menegakkan amandemen konstitusi yang diadopsi pada 2017.

Setelah amandemen, hubungan antara Turki dan Uni Eropa (UE) memburuk tajam. Para pemimpin UE meningkatkan kritik mereka terhadap Erdogan.

Pada akhir Januari, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa Ankara siap memenuhi semua persyaratan untuk bergabung dengan UE, namun blok tersebut tidak bersedia memberikan keanggotaan ke Turki karena alasan politik. Menyusul keluarnya Inggris dari blok tersebut, Erdogan meminta UE untuk memberikan keanggotaan Turki.

Perundingan tentang aksesi penuh Turki ke UE dimulai pada 2005. Namun, hubungan antara Brussel dan Ankara memburuk sepanjang 2020 karena ketidaksepakatan yang sudah berlangsung lama tentang Islamisme dan hak asasi manusia, serta perseteruan besar seputar pengeboran gas Turki di Yunani dan Siprus di perairan teritorial yang diklaim di Mediterania Timur.

Pada 2017 lalu, Erdogan mengatakan bahwa Turki tidak lagi membutuhkan keanggotaan di blok tersebut, dan akan mengikuti jalannya sendiri. Pemimpin Turki itu menambahkan bahwa kebijakan UE terikat pada Turki, tetapi Brussel tidak mendukung Ankara dalam perangnya melawan terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement