Rabu 27 Jan 2021 16:06 WIB

Vaksinasi dari Pandangan Medis dan Fiqih

Vaksinasi dari Pandangan Medis dan Fiqih

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
Vaksinadi dari Pandangan Medis dan Fiqih. Foto: Vaksin (ilustrasi)
Foto: AP Photo/LM Otero
Vaksinadi dari Pandangan Medis dan Fiqih. Foto: Vaksin (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, SLEMAN -- Vaksinasi disebut jadi langkah yang kini banyak dilakukan negara-negara dunia dalam penanganan covid-19. Karenanya, penting melihat lebih dari satu sudut pandang demi mendapat gambaran lebih luas terkait vaksinasi tersebut.

Spesialis penyakit dalam RS UII, dr. Ana Fauziyati mengatakan, hingga kini pasien yang terdampak wabah virus corona sudah mencapai 989.262 jiwa. Pada Oktober, grafiknya sempat terjadi penurunan, tapi kembali naik akhir 2020.

Baca Juga

Ana menekankan, covid-19 menyerang tubuh manusia secara sistemik mulai dari pencernaan, otak, hati, terutama pernafasan. Ia berpendapat, vaksin seperti Sinovac yang didatangkan dari Cina menjadi harapan baru menurunkan pandemi.

"Sepanjang sejarah, vaksin telah banyak terbukti mampu menurunkan pandemi yang melanda," kata Ana dalam webinar yang digelar Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia, Selasa (26/1).

Vaksin Sinovac, di Indonesia telah melalui uji klinis tahap 1-3, belum berikan efek samping berat. Karenanya, ia menegaskan, vaksin ini memiliki efikasi cukup mencegah infeksi Covid-19, namun tetap harus menjalankan protokol kesehatan.

Kepala Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) UII, Eko Riyadi menekankan, UU harus dipahami komprehensif agar tidak ditafsirkan secara setengah-setengah. Pemerintah, memiliki kewajiban memenuhi hak kesehatan masyarakatnya.

Indikator kewajiban mulai ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan sampai kualitas. Di beberapa negara kesehatan bukan sebagai industri yang masih ada privatisasi untuk beberapa kalangan, tapi harus dirasa semua level masyarakat.

Terkait penolakan vaksinasi, dari sisi HAM terdapat kebebasan kita terhadap hak kesehatan boleh dibatasi oleh negara. Sepanjang itu semua tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, hukum, kesejahteraan umum dan nilai demokrasi.

Sepanjang negara tidak bertentangan dengan empat nilai ini, pemaksaan vaksin boleh dilakukan. Namun, ia melihat, adanya sanksi pidana bagi orang-orang yang menolak vaksin tidak tepat karena itu memang bukan merupakan tindak pidana.

"Jika memang mengharuskan adanya pemaksaan, maka sebaiknya pemerintah memberikan sanksi-sanksi administrasi seperti dibatasi atau ditangguhkan akses BPJS di rumah sakit bagi calon pasien yang belum divaksin," ujar Eko.

Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Dr Asmuni menuturkan, virus corona datang dari suatu sebab dan akibat. Dari sisi fiqih, konteks kehalalan dan kesucian vaksin jika dilihat dari sisi kebutuhan dan darurat tidak membutuhkan fatwa.

Sebab, dalam fiqih ada istilah al istihalah atau transformasi. Ia menilai, itu sudah berdasarkan al iqtidha attabai, menetapkan hukum terhadap realitas yang sudah bersinggungan dengan faktor-faktor eksternal sesuai kondisi yang ada.

Untuk itu, vaksin sebagai obat secara fikih tidak masalah, bahkan bila vaksin terbuat dari bahan yang haram seperti babi, maka vaksin tidak masalah. Tentu, dalam kaidah adh dharurat tubihu atau situasi darurat dan keadaan mendesak.

"Mengenai pro-kontra, pemerintah harus mengkaji komprehensif secara ilmiah dari berbagai aspek dalam pengambilan keputusan. Sebagai pemegang kekuasaan harus hati-hati menghadapi permasalah yang bersinggungan antara agama dengan dunia," kata Asmuni. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement