Ahad 13 Dec 2020 13:45 WIB

Persaingan Kemungkaran dan Ketakwaan di Medsos

Ketakwaan dan kemungkaran bersaing di Medsos.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Persaingan Kemungkaran dan Ketakwaan di Medsos. Foto: Media sosial (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Persaingan Kemungkaran dan Ketakwaan di Medsos. Foto: Media sosial (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad mengatakan 58 persen anak muda lebih memilih belajar agama melalui sosial media atau secara daring dibanding luring. Fakta ini kata dia, menimbulkan resiko persaingan antara konten berisi kemungkaran dan ketakwaan di dunia maya.

"Ini sebenarnya tentang persaingan antara kemungkaran dan ketakwaan, dan ketakwaan ini terbagi menjadi ketakwaan radikal dan ketakwaan moderat," jelas Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu saat dihubungi Republika, Ahad (13/12).

Baca Juga

Dia menghimbau seluruh organisasi Islam untuk bahu-membahu menyajikan konten-konten agama yang moderat dan wasathiyah di sosial media agar generasi milenial tidak terjerumus dalam kemungkaran berkedok agama. Teknik penyajian konten juga perlu disesuaikan dengan minat dan kebutuhan para milenial agar mereka lebih tertarik untuk mempelajarinya lebih lanjut.

"Diusahakan ormas islam mampu memberikan informasi atau konten keagamaan yang moderat dan wasathiyah dan kita berlomba lomba untuk menyebarkan kebaikan itu. Karena kalau konten berisi kemungkaran atau radikalisme lebih banyak maka anak-anak muda bisa jadi lebih gampang terpengaruh. Sedangkan jika konten keislaman moderat atau wasatiyah tadi lebih banyak, maka resiko terjerumusnya anak muda melalui konten radikal bertameng agama dapat diminimalisir," jelasnya.

"Makanya kita (ormas) Islam harus lebih banyak dan aktif memberikan konten menarik kepada anak muda di sosial media agar meredam konten konten negatif tadi," sambungnya.

Hal terpenting, kata dia, adalah kemampuan generasi muda untuk membedakan antara baik dan buruk yang tersebar bebas di sosial media.

Dia juga berharap generasi muda Indonesia dapat tumbuh laksana lebah yang selalu mencari kebaikan, bukan justru bermental seperti lalat yang menggemari keburukan.

"Saya sering mengilustrasikan sebagai lalat dan lebah. lalat itu kan selalu mencari yang buruk-buruk (tempat atau makanan), sedangkan lebah selalu mencari yang baik-baik," ujarnya.

"Diharapkan anak-anak muda dapat dibentuk di lembaga pendidikan maupun di keluarga menjadi seperti lebah, sehingga saat mereka masuk ke dunia digital, mereka akan mencari konten yang baik, karena mereka sudah dididik menjadi lebah yang selalu mencari kebaikan. berbeda dengan mental lalat yang selalu berujung pada keburukan," sambungnya menambahkan.

"Maka bagi generasi milenial, pergunakanlah umur dan kecanggihan zaman ini untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat," pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Adian Husaini berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih fokus merekrut dan mencetak dai-dai yang bisa berkomunikasi dengan kalangan milenial. Ketua Umum DDII juga menyambut baik MUI yang ingin merangkul sekitar 30 persen umat Islam di Indonesia yang tidak berafiliasi dengan ormas-ormas Islam.

"Kalau saya melihat karakteristik generasi muda ini tergantung kepada kemasan yang disampaikan, saya lebih melihat MUI (sebaiknya) lebih fokus merekrut mencetak dai-dai yang mampu berkomunikasi dengan generasi milenial," kata Kiai Adian kepada Republika.co.id, Jumat (11/12).

Ia menyampaikan, banyak sosok dai yang mampu berkomunikasi dengan milenial, terutama yang menggunakan media sosial. "Bukan hanya (dengan generasi) milenial (tapi semua umat Islam), MUI harus mampu untuk komunikasi, itu yang lebih penting, daripada (fokus pada masalah afiliasi) ormas atau non-ormas," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement