Sabtu 07 Nov 2020 06:22 WIB

Aduan Kekerasan dalam Kebebasan Beragama Meningkat

Aduan kekerasan beragama ke Komnas HAM meningkat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Aduan Kekerasan dalam Kebebasan Beragama Meningkat. Foto:  Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Aduan Kekerasan dalam Kebebasan Beragama Meningkat. Foto: Toleransi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, aduan terkait kekerasan dalam kebebasan beragama pada tahun 2019 mengalami peningkatan. Tercatat pada 2019, aduan yang masuk ke Komnas HAM mencapai 23 kasus. 

"Pengaduan itu tidak berarti jumlah kasusnya hanya 23. Kami perkirakan lebih dari itu tetapi yang secara legal formal diadukan ke Komnas HAM memang hanya 23," kata Taufan dalam peluncuran Kajian Komnas HAM atas PBM No.8 dan 9 Tahun 2006 Terkait Pendirian Rumah Ibadah secara daring, Jumat (6/11). 

Baca Juga

Sebelumnya, pada  tahun 2018 laporan terkait kebebasan beragama berjumlah 21 kasus. Taufan menulai, dalam menghadapi masalah kebebasan beragama di Indonesia membutuhkan kehati-hatian dan keseriusan, karena hal tersebut sensitif dan bisa menimbulkan konflik berkepanjangan.

Komnas HAM menilai apabila tak ada tindakan yang jelas dari negara tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 maka wajah atas perlindumgan kebebasan beragama akan terus mengalami permasalahan. Oleh karena itu, kata Taufan, perlu ada pengkajian ulang terkait implementasi, PBM, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

Berdasarkan hasil temuan Komnas HAM, lanjut Taufan, tugas pemerintah daerah kerap tidak berjalan lantaran tidak cepat dalam memberikan arahan, semisal dalam pembuatan rumah ibadah.

“Hal ini tentu saja berimplikasi pada persoalan pendirian rumah ibadah yang disebabkan oleh berbagai faktor, dari implementasi PBM tadi baik berupa saran administrasi, prosedur teknis tergantung persetujuan di luar komunitas agama dan persoalan lambatnya fasilitasi pemenuhan oleh pemerintah dan negara,” ujarnya.

"Kami mencatat pelarangan pencegahan kegiatan beragama ini kerap diwarnai kekerasan. Jadi dari politik sampai sosial agama juga ada unsur kekerasan. Ini mengancam keutuhan bangsa kita. Padahal Indonesia lahir dari komunitas yang beragam, " tambahnya. 

Diketahui, Komnas HAM membuat kajian  mengenai dua Peraturan Bersama Menteri (PBM) No.8 dan 9 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah yang dianggap perlu diperbaiki. Dalam peluncuran kajian, Peneliti Komnas HAM Agus Suntoro mengatakan perlunya ada perbaikan dalam muatan terkait persyaratan pendirian rumah ibadah pada PBM  tersebut membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). 

"Aturan yang membatasi, dan berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama persetujuan mengenai dukungan penduduk sekitar, "kata Agus dalam peluncuran Kajian Komnas HAM atas PBM No.8 dan 9 Tahun 2006 Terkait Pendirian Rumah Ibadah secara daring, Jumat (6/11). 

Indikasi tersebut , kata Agus, didasarkan karena sejak awal PBM 2006 dinilai sudah pembatasan, potensial diskriminatif dan pengenaan syarat-syarat yang bersifat subjektif. "Bahwa PBM 2006 dalam perspektif hukum juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah perundang-undangan yang baik, " kata dia. 

Diketahui, salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM No.8 dan 9 Tahun 2016  adanya daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Selain itu juga perlu adanya syarat dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kantor departemen agama, dan rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

"Unsur 60-90 mungkin bagi agama mayoritas tertentu tidak masalah, celakanya peran pemerintah untuk memfasilitasi kewajiban tersebut selalu menjadi utama," ujar Agus.

Selain itu, terkait fungsi dan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam PBM 2006 pun harus diperbaiki. Ia menilai FKUB mencerminkan dua aspek. 

Pertama, FKUB merupakan bagian dari konflik pendirian rumah ibadah berkaitan dengan fungsi pemberian rekomendasi sebagai syarat Pemerintah Daerah menerbitkan izin. Selain itu, FKUB juga menjadi unsur keterwakilan masyarakat sipil/publik terhadap intervensi dan kekuasaan secara penuh oleh Negara dalam proses pendirian rumah ibadah 

"Selama ini, peran FKUB menjadi lebih teknis dengan melakukan verifikasi dukungan faktual dalam pendirian rumah ibadah akan tetapi belum secara utuh fokus pada upaya membina kerukunan umat beragama, " ujarnya. 

Oleh karenanya, Komnas HAM merekomendasikan perlunya ada kerangka pembentukan peraturan yang mengatur rumah ibadah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip dan norma hak asasi manusia, serta menghindari kerangka pembatasan dan watak diskriminasi. Hal itu dilakukan semata-mata dalam upaya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dalam aspek forum internum (privat right) dan forum externum (exsternal freedom). 

"Komnas HAM mendorong perubahan PBM 2006 khususnya dalam bagian pendirian rumah ibadah untuk diatur dalam regulasi setingkat undang-undang karena substansi muatan materi di dalamnya ternyata banyak yang bersifat diskriminasi dan bersifat pembatasan," ujar Agus. 

Komnas HAM, sambungnya, akan mendukung pembentukan regulasi yang kedudukanya di bawah undang-undang, misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, sepanjang terdapat landasan hukum yang mendelegasikan serta substansi materi muatannya bersifat pengaturan dengan merumuskan kritera syarat-syarat yang objektif dalam pendirian rumah ibadah."Misalnya didasarkan pada rencana tata ruang dan wilayah, kesesuaian dengan lanskap lingkungan, larangan terlibat dalam politik praktis dan menjadi bagian dari tindak pidana (penahanan, pemenjaraan) serta mempromosikan tindakan kekerasan berbasis agama, " ujarnya. 

Komnas HAM juga merekomendasikan adanya  evaluasi terhadap tugas, fungsi dan komposisi FKUB dalam PBM 2006 dengan mendorong untuk fokus pada peran yang strategis sebagai fasilitator dan dinamisator untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. FKUB jiga harus memastikan dukungan (regulasi, kelembagaan, keuangan dan sarana prasarana) bagi kelancaran tugas dan fungsi.

" FKUB juga harus memberikan akses dan kedudukan yang setara dalam komposisi dan keanggotan FKUB termasuk bagi minoritas (agama dan kepercayaan) setempat," tegasnya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement