Ahad 27 Sep 2020 15:35 WIB

Sederet Kejadian Pengabaian Masjid di Xinjiang?

Sejumlah kejadian kuatkan dugaan China abaikan masjid di Xinjiang.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
FILE - In this Nov. 4, 2017, file photo, Uighur security personnel patrol near the Id Kah Mosque in Kashgar in western China
Foto: AP Photo
FILE - In this Nov. 4, 2017, file photo, Uighur security personnel patrol near the Id Kah Mosque in Kashgar in western China

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG – Hingga satu dekade lalu, banyak umat Muslim bepergian dengan bus, mobil, keledai, hingga berjalan kaki, untuk berkumpul di tempat suci Imam Asim, di gurun perbatasan barat China.

Dengan susah payah, mereka berjalan melalui bukit pasir untuk berlutut di situs suci yang didedikasikan untuk Imam Asim. Ia merupakan seorang pria Muslim suci, yang membantu mengalahkan kerajaan Buddha yang telah memerintah di lokasi tersebut, lebih dari seribu tahun lalu. 

Baca Juga

Para pengikutnya merupakan orang Uighur, sebagian besar etnis minoritas Muslim. Mereka sering mengadakan festival tahunan untuk berdoa agar panen berlimpah, kesehatan yang baik, dan bayi yang kuat. 

Ribuan peziarah sedang sholat di Kuil Imam Asim pada 2009 terekam dalam video  yang diambil Rahile Dawut dan murid-muridnya. Seorang profesor di Middlebury College yang mengunjungi Kuil Imam Asim untuk penelitian pada 2008 dan 2009, Tamar Mayer, menyebut kegiatan itu bukan sekadar sejarah.  

"Ada permainan, makanan, jungkat-jungkit untuk anak-anak, pembacaan puisi, dan seluruh area untuk bercerita. Kondisinya penuh dengan orang dan kehidupan," ujarnya dilansir di Business Standard, Ahad (27/9). 

Pihak berwenang lantas berusaha membatasi kerumunan di kuil dengan pos pemeriksaan. Pada 2014 hampir seluruh kegiatan dilarang, sementara tahun lalu, banyak tempat suci telah dihancurkan.  

Pagar dan tiang kayu yang pernah mengelilingi makam dan mengibarkan bendera doa, telah dirobohkan. Gambar satelit menunjukkan sebuah masjid di situs tersebut diratakan. Yang tersisa hanyalah bangunan batu bata lumpur yang menandai makam Imam Asim, yang tampaknya masih utuh di tengah reruntuhan.  

Otoritas China dalam beberapa tahun terakhir telah menutup dan menghancurkan masjid hingga situs suci lainnya di Xinjiang. Wilayah ini telah lama melestarikan budaya Muslim dan kepercayaan Islam di wilayah tersebut.  

Upaya menutup dan menghapus situs-situs ini merupakan bagian dari kampanye China yang lebih luas, untuk mengubah warga Uighur, Kazakh, maupun anggota kelompok etnis Asia Tengah lainnya menjadi pengikut setia Partai Komunis. Upaya asimilasi menyebabkan penahanan ratusan ribu Muslim di pusat indoktrinasi.  

Institut Kebijakan Strategis Australia, sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Canberra, mengeluarkan laporan sistematis yang mengukur tingkat kerusakan dan perubahan situs keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.  

Diperkirakan sekitar 8.500 masjid di seluruh Xinjiang telah dihancurkan sepenuhnya sejak 2017. Berarti, lebih dari sepertiga jumlah masjid yang menurut pemerintah berada di wilayah tersebut, telah hilang. 

"Apa yang ditampilkan adalah kampanye penghancuran dan penghapusan, yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Revolusi Kebudayaan," kata peneliti di institut yang memimpin analisis tersebut, Nathan Ruser.  

Selama kekacauan satu dekade yang terjadi sejak 1966 di bawah Mao Zedong, banyak masjid dan situs keagamaan lainnya dihancurkan. 

Institut yang juga dikenal sebagai ASPI ini mengumpulkan sampel acak dari 533 situs masjid yang diketahui di seluruh Xinjiang. Mereka menganalisis gambar satelit dari setiap situs yang diambil pada waktu yang berbeda untuk menilai perubahan.  

ASPI mempelajari keadaan kawasan tempat suci, kuburan, dan situs suci lainnya melalui sampel dari 382 lokasi yang diambil dari survei dan catatan daring yang disponsori negara.  

Pemerintah China telah menepis laporan pembongkaran luas situs keagamaan sebagai "omong kosong". Selanjutnya, mereka mengatakan menghargai perlindungan dan perbaikan masjid.  

Pejabat China menuduh Institut Kebijakan Strategis Australia berusaha memfitnah China. Hal ini menunjuk pada pendanaan yang berasal dari pemerintah Amerika Serikat, dan menganggapnya sebagai bukti bahwa temuannya bias. 

Lembaga tersebut menolak klaim itu, dengan mengatakan penelitian itu sepenuhnya independen dari pemberi dana. 

Pihak berwenang telah menempatkan kontrol ketat pada pergerakan di Xinjiang. Aliran informasi keluar dari wilayah tersebut juga dibatasi, menjadikannya tantangan untuk menilai skala kehancuran di lapangan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement