Jumat 25 Sep 2020 22:11 WIB

Prediksi Total 1 Juta Kasus Covid Saat Pencoblosan Pilkada

Total positif Covid di Indonesia diprediksi capai 1 juta kasus saat puncak pilkada.

Pengunjuk rasa memainkan rebana dan bersholawat saat aksi menuntut penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di depan gedung KPU Kediri, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak karena dinilai rawan menjadi klaster penularan COVID-19.
Foto: Prasetia Fauzani/ANTARA
Pengunjuk rasa memainkan rebana dan bersholawat saat aksi menuntut penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di depan gedung KPU Kediri, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak karena dinilai rawan menjadi klaster penularan COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, angka epidemiologi terkait Covid-19 akan meningkat lebih besar jika Pilkada 2020 tak ditunda. Jumlah total kasus Covid-19 di Indonesia diprediksi akan mencapai 1 juta kasus pada Desember saat puncak pencoblosan.

Baca Juga

"Sebenarnya, ini cukup prihatin dan mengkhawatirkan ya. Para ormas sudah mengaharapkan Pilkada 2020 ini ditunda. Tapi keputusan pemerintah tetap berlanjut. Kalau ini berlanjut angka epidemiologi akan cukup besar. Sekarang dengan kasus 250 ribuan positif itu kalau kami forecasting dengan kenaikan laju harian sekitar 4 ribuan kurang lebih 600 ribu hingga 1 juta kasus akan terjadi pada Desember saat puncak pencoblosan ," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (24/9).

Kemudian, ia melanjutkan, saat ini proses Pilkada 2020 memang ada pengerahan keamanan untuk menjaga massa agar tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Namun, beberapa anggota pengamanan tersebut diam saja jika ada masyarakat yang berkampanye tidak sesuai protokol kesehatan Covid-19.

Hal ini tentu berbahaya, apalagi saat pencoblosan pilkada nanti. Terdapat lanjut usia, ibu hamil dan sebagainya. Mereka dalam satu ruang lingkup.

"Dalam hal ini apakah sudah ada peraturannya seperti apa? Apakah akan menjamin tidak akan tertular virus Covid-19?" kata Hermawan.

Hermawan menambahkan, walaupun saat ini pemerintah mengimbau di Pikada 2020 ini diterapkan protokol kesehatan Covid-19, tetapi adakah hal yang menjamin ketika di lapangan hal tersebut akan dipatuhi di seluruh daerah. Apakah pengamanan dan Satgas Covid-19 akan berfungsi dengan baik?

"Indonesia sudah disorot oleh pemerintahan luar negeri terkait lambatnya untuk mengendalikan Covid-19. Lalu, saat ini Indonesia tetap adakan Pilkada 2020 di tengah pandemi. Mereka akan melihat pemerintah akan mengorbankan apa dalam hal ini. Ya kalau tetap dilanjutkan Pilkada ini akan seperti bom waktu ya untuk kasus Covid-19," kata dia.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai, kepastian kepatuhan protokol kesehatan di semua wilayah yang mengadakan pilkada sulit diwujudkan. Firman bahkan memandang kecurangan atas protokol kesehatan akan jadi fenomena yang akan terjadi di Pilkada 2020.

"Pilkada kita ini memang manipulatif, apa tiba-tiba jadi tidak manipulatif? Kan tidak begitu. Tren seperti (kecurangan pada protokol kesehatan) itu ada, apalagi kontestannya banyak, tidak semuanya efektif pemantauannya," kata Firman saat dihubungi Republika, Jumat (25/9).

Firman menilai esensi protokol kesehatan bukan masalah peraturan saja tapi kesadaran masyarakat. Ada tantangan berat meyakinkan paslon, timses dan masyarakat guna menaatinya.

"Sanksi penting tapi praktiknya buka praktik kecurangan. Karena mindset kita lihat kondisi seperti normal saja sekarang belum siap dengan kondisi yang ada," ujar Firman.

Selain itu, Firman menyoroti keramaian identik dengan pilkada. Keduanya seolah sulit dipisahkan.

"Mereka harapkan ada bandwagon efek karena dengan keramaian (paslon) dianggap hebat, banyak pendukungnya," ucap Firman

Sebelumnya diketahui, seruan menunda pelaksanaan pilkada serentak pada akhir 2020 terus menggema. Faktor tingginya pelanggaran protokol pilkada padahal baru masuk tahap pendaftaran, hingga fakta bahwa Ketua KPU dikonfirmasi positif Covid-19, jadi sejumlah pertimbangan bagi penundaan pilkada.

Istana namun telah menegaskan, Pilkada serentak 2020 tetap akan berlangsung sesuai jadwal. Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menyampaikan pelaksanaan pilkada harus tetap mengutamakan kesehatan masyarakat.

"Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," ujar Fadjroel dalam siaran resminya, Senin (21/9).

Salah satu tahapan pilkada yang dinilai rawan adalah kampanye tatap muka yang kemudian kembali diatur pelaksanaan teknisnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, KPU mengakui, tidak bisa melarang semua daerah untuk menggelar kampanye tatap muka, khususnya daerah yang kesulitan dalam hal akses sinyal seluler.

KPU akhirnya masih memperbolehkan pasangan calon (paslon) kepala daerah menggelar kampanye tatap muka melalui metode pertemuan terbatas, pertemuan terbuka, dan dialog di Pilkada 2020. Metode tersebut masih diperbolehkan untuk memfasilitasi paslon di daerah yang belum memiliki akses terhadap sinyal.

"Belum seluruh wilayah di Indonesia ini, terutama di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada itu memiliki akses melalui media sosial dan media daring yang memadai, termasuk untuk kebutuhan kampanye," ujar Raka saat dihubungi, Jumat (25/9).

Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 menyebutkan, pertemuan terbatas serta pertemuan terbuka dan dialog diupayakan melalui media sosial atau daring. Jika tidak bisa dilaksanakan secara daring, pelaksanaannya boleh melalui tatap muka.

Namun, pertemuan tatap muka tersebut harus dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan yang tercantum dalam PKPU Nomor 13/2020. Jika KPU sepenuhnya melarang pertemuan terbatas serta pertemuan terbuka dan dialog dilakukan secara fisik, maka akan melanggar undang-undang.

"Kalau ini dilarang semua maka akan ada sejumlah daerah yang sama sekali tidak ada kampanyenya. Jadi tentu ini tidak dimungkinkan, ini akan melanggar ketentuan undang-undang," kata Raka.

Raka menuturkan, ketentuan pelaksanaan pertemuan tatap muka juga harus mempertimbangkan kondisi di lapangan. Suatu daerah bisa saja sudah terjangkau internet, tetapi tidak optimal.

Menurut Raka, KPU akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait dan mengecek akses internet di 270 daerah. "Ini tentu harus dilihat kondisi objektifnya. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan dari aspek hak untuk berkampanye," lanjut dia.

Dalam Pasal 58 PKPU Nomor 13/2020 menyebutkan, pelaksanaan kampanye yang dilaksanakan secara tatap muka tersebut, harus mematuhi protokol kesehatan dengan menyediakan sarana sanitasi berupa air mengalir, sabun, atau hand sanitizer. Peserta kampanye dibatasi maksimal 50 orang.

Setiap peserta wajib menerapkan jaga jarak dan menegenakan alat pelindung diri paling kurang berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu. Sementara itu, kampanye akan dimulai 26 September sampai 5 Desember, selama 71 hari.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga meminta para pasangan calon (paslon) mengutamakan kampanye melalui media daring agar tidak terjadi kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19. Metode kampanye pertemuan tatap muka yang masih diperbolehkan, sedapat mungkin hanya dilakukan di daerah tidak memiliki sinyal.

"Yang ada pertemuan terbatas itu pun hanya dibatasi betul terutama daerah-daerah yang tidak memiliki sinyal elektronik," ujar Tito dalam kegiatan penunjukan penjabat sementara kepala daerah secara daring, Jumat (25/9).

Ia menuturkan, metode kampanye pertemuan tatap muka dilaksanakan dengan memenuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Akan tetapi, setiap kegiatan kampanye sebanyak mungkin didorong agar menggunakan media elektronik (televisi dan radio), media cetak, media sosial, dan media daring.

Menurut dia, pemerintah mengimbau pasangan calon, partai politik, serta tim kampanye memanfaatkan teknologi informasi secara daring yang justru bisa menarik masyarakat lebih banyak ikut serta dalam kegiatan kampanye. Sebab, ada perubahan tata cara dalam berkampanye yang harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

"Ada aplikasi-aplikasi seperti Zoom, live streaming di Youtube, Instagram, Twitter, grup-grup sosial media yang itu bisa mencapai ribuan puluhan ribu orang," kata Tito.

Satgas prihatin

Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito telah mengingatkan tingginya kasus Covid-19 yang ditemukan terkait pelaksanaan pilkada serentak di berbagai daerah. Ia mengaku prihatin masih banyak calon kepala daerah yang menggelar acara besar sehingga menimbulkan kerumunan masyarakat di tengah pandemi saat ini.

“Kami masih melihat penambahan kasus positif yang cukup tinggi dan ini juga terkait dengan pilkada,” ujar Wiku saat konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (24/9).

Wiku mengatakan, apa pun alasannya, wakil rakyat harus dapat melindungi keselamatan rakyatnya sehingga pesta demokrasi dapat berjalan dengan baik. Satgas pun mengapresiasi langkah KPU yang merevisi peraturan KPU serta menerbitkan sanksi bagi para calon kepala daerah yang berencana menggelar acara besar dalam kampanyenya.  

“Kembali kami ingatkan dengan adanya revisi peraturan ini yang diterbitkan oleh KPU seperti PKPU No 13/2020 menyatakan bahwa seluruh kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan seperti gelaran konser musik, bazar, hingga perlombaan sepenuhnya dilarang,” jelas dia.

Wiku mengatakan, kegiatan kampanye tersebut dapat dilakukan secara virtual ataupun online. Ia menegaskan, peran melawan pandemi Covid-19 tak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Seluruh pihak baik masyarakat maupun calon kepala daerah juga harus aktif melindungi masyarakat di setiap tahapan pilkada.  

photo
Pilkada dalam bayang-bayang Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement