Sabtu 25 Jul 2020 04:18 WIB

Kamp Pengungsi Rohingya Berisiko Jadi 'Lahan Subur' Covid-19

Pengungsi Rohingya hidup berdesakan di kamp Kutupalong.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Kamp Pengungsi Rohingya Berisiko Jadi 'Lahan Subur' Covid-19. Puluhan ribu pengungsi Rohingya di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Foto: Rafiqur Rahman/Reuters
Kamp Pengungsi Rohingya Berisiko Jadi 'Lahan Subur' Covid-19. Puluhan ribu pengungsi Rohingya di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Hampir satu juta orang tinggal di kamp pengungsi terbesar, kamp Kutupalong di Bangladesh selatan. Kepadatan populasi yang lebih besar dari Manhattan, kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar merupakan tempat berkembang biak ideal untuk virus corona (Covid-19).

"Kami mendapatkan banyak pasien. Di daerah ini sulit untuk mengelola kasus dengan isolasi rumah atau karantina karena kondisi hidup yang penuh sesak," kata Kordinator HOPE Field Hospital isolation center, Debashish Chakraborty Debu, dilansir di Business Insider, Kamis (23/7).

Baca Juga

Para pengungsi sepenuhnya bergantung pada bantuan untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Kondisi kehidupan di sana disebut begitu buruk. Rumah sempit, dan sering dibangun dari bahan yang tipis, sementara toilet dan fasilitas mencuci digunakan secara bersama-sama.

"Rumah ini 18 kaki x 12, dengan 10 dari kita di tempat kecil ini. Kami mengalami masa yang sangat sulit," kata seorang pengungsi Rohingya yang duduk bersama istri dan anak-anaknya, Mohammed Osman.

Adapun tindakan keras oleh militer Myanmar pada Agustus 2017 pada minoritas Muslim Rohingya memicu salah satu gerakan terbesar orang dalam sejarah. Pemerintah Myanmar mengklaim serangan itu ditargetkan pada militan. Lebih dari 700 ribu melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh dalam bulan-bulan berikutnya, usai kehilangan segalanya.

"Kami datang karena orang-orang Myanmar membakar rumah kami dan menembak kami. Jadi untuk menyelamatkan hidup kami, kami pergi ke pegunungan. Kami berjalan melewati pegunungan sepanjang malam. Lalu kami menyeberangi sungai dengan perahu, itulah sebabnya kami datang ke Bangladesh," kata pengungsi, Majuma Khatun.

Para pengungsi jauh dari rumah mereka, dan trauma terhadap kampanye pembersihan etnis berdasar penyebutan oleh PBB. Virus corona hanya membuat situasi yang sudah mengerikan semakin buruk.

"Dengan monsun, dengan erosi tanah, dengan banjir, merupakan lingkungan yang sangat sulit untuk dilalui," kata Pejabat Komunikasi untuk Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Louise Donovan.

Dia mengatakan kamp-kamp sangat padat penduduknya. Lebih dari 40 ribu orang yang tinggal per kilometer persegi. Dan dengan risiko penularan Covid-19, itu membuat hidup sangat sulit bagi populasi ini.

Program Pangan Dunia menyediakan makanan untuk setiap pengungsi di kamp-kamp. Akan tetapi pembatasan penguncian membuat kelompok tersebut harus membatasi berapa kali orang dapat mengunjungi titik distribusi mereka.

"Hanya gagasan jarak sosial yang hampir mustahil untuk dibayangkan. Para pengungsi ketakutan, mereka khawatir," kata Konsultan Operasi Lapangan untuk Program Pangan Dunia, Alex Dattani.

Menurut angka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus pertama terdeteksi pada 14 Mei, dengan kematian pertama terjadi pada akhir bulan. Pada 12 Juli, ada 57 kasus yang dikonfirmasi di kamp-kamp pengungsi dan lima kematian.

"Pertama, saya mencuci tangan dengan sabun. Kemudian memastikan kebersihan untuk anak-anak. Kami memberikan masker kepada anak-anak. Kami semua memakai masker, tidak bersosialisasi dengan tetangga. Kami tinggal di rumah," kata seorang pengungsi Rohingya, Jahura Khatun.

PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya telah bergegas untuk membangun pusat-pusat baru untuk mendiagnosis, mengisolasi, dan merawat pasien dengan Covid-19. Dan sekarang, dengan musim hujan sedang berlangsung, mereka juga bekerja untuk melawan ancaman tanah longsor dan penyakit bawaan air lainnya.

Yayasan HOPE untuk Bangladesh membuka Pusat Perawatan dan Isolasi 50 tempat tidur untuk pasien Covid-19 pada akhir Juni. Unit perawatan intensif pertama di wilayah itu juga dibuka pada akhir Juni di Rumah Sakit Sadar di Cox's Bazar. Terdapat sepuluh tempat tidur ICU dengan ventilator dan delapan tempat tidur unit ketergantungan tinggi. Secara keseluruhan, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi bertujuan untuk menciptakan 1.900 tempat tidur untuk pasien virus corona.

Tetapi ketika bantuan sangat dibutuhkan, sebanyak 80 persen staf LSM dilarang memasuki kamp untuk mengurangi risiko penularan. "Tim-tim ini sedang melakukan pelacakan kontak, memastikan bahwa setiap anggota keluarga dekat atau kontak dekat dikarantina segera dan juga diuji," kata perwakilan dari UNHCR, Donovan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement