Jumat 17 Jul 2020 06:14 WIB

Ditolak Dunia, Aceh Tarik Muslim Rohingya

Rohingya mengapung di atas lautan Selat Malaka dan jadikan Aceh sebagai tujuan.

Rep: Retizen/ Red: Elba Damhuri
Sejumlah pengungsi etnis Rohingya duduk menunggu saat tiba di tempat penampungan yang baru di Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Mee Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (10/7/2020). Sebanyak 99 orang pengungsi Rohingya yang terdiri dari 43 orang dewasa dan 56 anak-anak dipindahkan ke tempat penampungan sementara yang baru dan sehat sambil menunggu kepastian dari imigrasi, IOM dan UHNCR soal sampai kapan mereka akan berada di Indonesia.
Foto: ANTARA/RAHMAD
Sejumlah pengungsi etnis Rohingya duduk menunggu saat tiba di tempat penampungan yang baru di Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Mee Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (10/7/2020). Sebanyak 99 orang pengungsi Rohingya yang terdiri dari 43 orang dewasa dan 56 anak-anak dipindahkan ke tempat penampungan sementara yang baru dan sehat sambil menunggu kepastian dari imigrasi, IOM dan UHNCR soal sampai kapan mereka akan berada di Indonesia.

RETIZEN -- Penulis: Cut Putri Cory, SSos* 

Lorong 12 Mil terbentang membelah Samudera Hindia dan Pasifik, jalur sibuk itu begitu ramai. Sedikitnya dua ratus kapal lalu lalang setiap hari di choke point strategis dunia itu. 

Di antara ratusan kapal pembawa komoditas dari negeri produsen ke negeri-negeri konsumen yang berlayar di atasnya, pun ada nafas-nafas manusia bingung yang menggantung harap kepada Rabb mereka, berserah diri ke mana angin melayarnya. 

Rohingya mengapung di atas lautan Selat Malaka, dan menjadikan Aceh sebagai konsekuensi logis dari jawaban setiap doa dan ketakutannya. Sampailah ketika Selat Malaka membuka mulutnya, maka siapapun yang memasukinya akan menemukan Tanah Rencong sebagai gerbang Nusantara.

Sempat ditarik kembali ke arah lautan karena dikhawatirkan terpapar Covid-19, namun setelah tangis dan protes masyarakat Aceh, akhirnya sembilan puluh empat Rohingya yang di antaranya terdapat anak-anak itu bisa mendarat di Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. 

Tak tega, “Pemerintah jangan nunda-nunda keputusan. Mereka sudah sangat lelah di kapal itu. Segera tarik mereka ke darat, kami beri makan,” kata salah seorang warga Aceh, Nasruddin, sebagaimana dikutip Kompas.com (25/6/2020).

Rohingya telah mengelana tak tentu arah, pergi ke manapun arah angin membawa, mereka tak bersandar kecuali kepada Rabb yang membuat kapalnya bisa berlayar. 

Entah timur atau barat tempat berlabuh, mereka enggan berpikir tentang itu, apa yang di hadapan dijadikan asa tak lebih buruk dari apa yang ditinggalkan. Penyiksaan, penindasan, boikot, pemerkosaan, perampasan, dan segala bentuk kezaliman dirasakan Muslim Rohingya di Burma. 

Saat dunia menolaknya, Aceh justru merangkulnya. Menarik saat Nasruddin mengatakan, “Kita sesama Muslim. Masak iya, kita tidak bantu mereka,”

Agaknya Muslim Aceh benar-benar menyadari bahwa ikatan akidah lebih pekat dibanding sekat-sekat batas negara. 

Kita memang orang Indonesia, tapi lebih dari segalanya adalah bahwa kita dan mereka seakidah, dan ini cukup kuat untuk menghilangkan segala hambatan dalam ukhuwah. 

Biarlah kali ini kita sadari bahwa sekat-sekat nasionalisme tak boleh berada di atas ukhuwah.

Benarlah sabda Nabiyullah Muhammad Saw bahwa kita seluruh Muslim dunia ibarat satu tubuh, jika satu bagian dari tubuh itu terluka maka seluruh tubuh merasakan sakitnya. Derita Rohingya telah begitu lama, berulang kali mereka berlari dari tanah kelahirannya dan menyebar di bumi mencari suaka. Ditolak di berbagai negara, sudah biasa. Manusia laut itu terombang ambing di lautan berkawan dengan lapar dan dahaga. Takut dan cemas akankah masa depan binasa, ataukah ukhuwah dapat diandalkan seperti seharusnya, dan Muslim Aceh menjawab itu dengan tangan terbuka.

Fakta ini selayaknya menjalar ke seluruh umat Islam, karena Aceh, Jakarta, dan kota lainnya merupakan bagian dari Indonesia, negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia. 

Melepaskan Rohingya dari deritanya adalah tuntutan ukhuwah yang terpancar dari akidah. Bahkan hal ini pun selayaknya menjadi agenda Muslim dunia, semoga apa yang dilakukan Aceh menginspirasi dunia dan membangkitkan Khairu Ummah itu. 

Mengembalikan posisi umat terbaik kepada maqamnya yang mulia dalam ikatan akidah yang kuat.

*Penulis adalah Alumni Fakultas Dakwah, UIN Ar-Raniry Aceh, dan Koordinator Intellectual Muslimah Circle 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement