Rabu 24 Jun 2020 20:09 WIB

Yamamah, Wafatnya Ribuan Hafiz, dan Pembukuan Alquran

Perang Yamamah menjadi momentum awal pembukuan catatan Alquran.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Perang Yamamah menjadi momentum awal pembukuan catatan Alquran. Pentashihan Alquran/Ilustrasi
Foto: Republika/ Wihdan
Perang Yamamah menjadi momentum awal pembukuan catatan Alquran. Pentashihan Alquran/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perang Yamamah mengilhami Umar bin Khattab untuk mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf. Karena melalui perang inilah 1.200 orang sahabat Rasulullah SAW yang merupakan penghafal Alquran meninggal.  

Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya "Sejarah Alquran" mengatakan, bahwa perang itu terjadi di tahun kesebelas Hijriyah bertepatan dengan tahun 632 Masehi. 

Baca Juga

Perang ini dipicu gerakan murtad massal yang digembongi Musailamah Al-Kadzdzab. "Tokoh murtad ini berhasil mengumpulkan pasukan sebanyak 40 ribu orang bersenjata," katanya. 

Pada saat itu Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah SAW menerjunkan 13 ribu pasukan untuk menghalau pasukan murtad itu. Pasukan ini awalnya dipimpin Ikrimah dan kemudian diserahkan kepada Khalid bin Walid.  

Ustadz Ahmad mengatakan, sejarah mencatat pertempuran itu berlangsung cukup lama, sehingga korban yang jatuh cukup banyak. Yaitu 1.200 orang dari pihak shahabat dan 21 ribu orang dari pihak pasukan murtad.  

"Angka korban 1.200 orang itu cukup besar, mengingat mereka bukan prajurit biasa. Mereka adalah para penghafal Alquran (qurra’) yang secara sukarela ikut dalam perang melawan orang-orang murtad. Semangat jihad mereka memang tidak bisa dihalangi, namun kalau mereka mati syahid tentu saja Alquran akan hilang bersama mereka juga. 

"Hal inilah yang mengkhawatirkan Umar bin Khattab, sehingga Beliau meminta Abu Bakar untuk memastikan penjagaan Alquran lewat proyek mengumpulkan Alquran," katanya.  

Ustadz Ahmad menjelaskan, penyusunan Alquran atau dalam istilah Arabnya jam’ul Quran, maksudnya adalah mengumpulkan teks tulisan ayat-ayat Alquran menjadi satu mushaf yang urutan ayat dan urutan suratnya disesuaikan dengan aslinya yang ada di Lauhil Mahfudz.  

"Proses pengumpulannya tidak terjadi di masa kenabian, melainkan terjadi setelah Nabi SAW wafat, yaitu di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utsman bin Affan RA," katanya. 

Ustadz Ahmad mengatakan, kalau ditanya kenapa di masa setelah wafatnya Nabi SAW harus dilakukan pengumpulan Alquran, jawabnya karena penulisan Alquran di masa kenabian itu meski sudah dilakukan, namun belum lagi disusun sebagaimana urutan surat dan ayat yang kita kenal di dalam mushaf sekarang.   

Para shahabat penulis wahyu, baik yang resmi diangkat Nabi SAW ataupun yang menuliskannya sesuai inisiatif masing-masing, mereka mencatat semua wahyu yang turun berdasarkan urutan proses diturunkannya Alquran ke muka bumi. 

Awalnya usulan mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf  itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Khalifah Abu Bakar. Alasannya sangat masuk akal, yaitu bahwa Nabi SAW tidak pernah memerintahkan, juga tidak pernah mencontohkan, bahkan juga sama sekali tidak pernah mengisyaratkan.

Namun, atas pendekatan dan penjelasan Umar, akhirnya proyek pengumpulan Alquran menjadi sebuah mushaf berhasil dilakukan. 

Sehingga sampai saat ini, umat Nabi yang tak pernah mendengar, melihat bagaimana Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Alquran, bisa membaca, dan menghafalnya.   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement