Jumat 08 May 2020 16:21 WIB

Kemendagri Akui Ada Distorsi Kebijakan Pusat dan Daerah

Kepala daerah diminta tak mencari kelemahan dari sistem yang ada.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik saat diwawancarai Republika di Jakarta, Senin (7/10).
Foto: Republika/Prayogi
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik saat diwawancarai Republika di Jakarta, Senin (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik mengatakan, pemerintah daerah tidak mudah membaca kebijakan pusat terkait penanganan Covid-19 ketika bertentangan dengan kondisi riil. Menurutnya, ada gap antara kapasitas pemerintah pusat dan daerah yang seringkali menimbulkan distorsi dalam melaksanakan kebijakan tersebut.

"Tidak mudah memang membangun hubungan antara pusat dan daerah ini, karena memang kapasitas antara pusat dan daerah juga tidak sama, gap ini lah yang seringkali menimbulkan distorsi dalam upaya-upaya pemerintah daerah melaksanakan kebijakan-kebijakan tadi," ujar Akmal dalam diskusi virtual, Jumat (8/5).

Baca Juga

Ia menuturkan, kepala daerah yang sulit menerjemahkan kebijakan sesuai kondisi di lapangan tergambar dalam sidang pendapat antara Bupati Lumajang dan Bupati Bolaang Mongondow Timur. Kemendagri sudah berkomunikasi dengan keduanya dan meminta mereka bijaksana dalam menyikapi perbedaan.

Kemendagri mendorong kepala daerah bersinergi dengan pemerintah pusat menyelesaikan persoalan akibat pandemi Covid-19. Selain itu, ia juga meminta kepala daerah tidak mencari kelemahan dari sistem yang ada. Akmal mengaku, Kemendagri sudah berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengenai implementasi desentralisasi dalam menangani Covid-19.

Sebab, sebaik-baiknya kebijakan pemerintah pusat jika tidak diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah daerah justru menimbulkan permasalahan. Dengan demikian, ia mengklaim sudah berkoordinasi dengan BNPB agar menyelaraskan kebijakan di tingkat pusat hingga dibaca dengan mudah oleh pemerintah provinsi.

Kemudian pemerintah provinsi memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota mengeksekusi kebijakan tersebut. "Yang menjadi eksekutor adalah pemerintah daerah, apapun kebijakan yang sebaik-baiknya dibuat pemerintah ketika tidak dibaca dengan baik, tidak mampu diterjemahkan dengan baik pemerintah daerah, itu justru jadi persoalan," tegas Akmal.

Sebelumnya, peristiwa adu mulut terjadi antara Bupati Lumajang Thoriqul Haq dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sehan Salim Landjar, soal bantuan untuk masyarakat di tengah wabah Covid-19. Video tersebut di-posting akun Twitter @sammir_essahbi.

Thoriq mengomentari sikap Bupati Boltim yang mengkritik perbedaan kebijakan Menteri Sosial dan Mendagri. Kritikan Thoriq diucapkan dan direkam saat ia memantau pembagian bantuan langsung tunai (BLT) di Desa Denok, yang bersumber dari dana desa.

"Program ini merupakan inovasi daerah untuk mengurangi beban masyarakat akibat pandemi Covid-19. Bupati Boltim ingat itu, kerja keras kita semua kerja. Soal ruwet memang ruwet. Kalau sekarang banyak masalah memang banyak masalah, diselesaikan," kata Bupati Thoriq dalam video tersebut.

Thoriq meminta Bupati Boltim tidak menyalahkan menteri. Thoriq menduga Bupati Boltim tidak bisa mengurus bantuan dari pemerintah. "Jangan menyalahkan menteri dan jangan membodohkan menteri. Jangan-jangan Anda yang salah urus," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement