Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Ani Nursalikah

Rabu 06 May 2020 17:23 WIB

Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand. Salah satu pendiri Rohingya Peace Network of Thailand Bangkok, Hajee Ismael. Foto: bangkok post Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand. Salah satu pendiri Rohingya Peace Network of Thailand Bangkok, Hajee Ismael.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Ramadhan telah masuk ke hari ke-13. Berpuasa di tahun ini memiliki pengalaman yang berbeda karena adanya pandemi Covid-19.

Dalam keadaan normal, selama bulan puasa biasanya umat Islam meramaikan masjid selama berbuka puasa. Tetapi dengan pandemi Covid-19, Ramadhan tahun ini tidak seperti sebelumnya. Meskipun Kantor Islam Sheikhul baru saja mengumumkan kemarin bahwa masjid dapat dibuka untuk ibadah dengan langkah-langkah pencegahan yang ketat, tidak ada lagi buka puasa bersama yang diharapkan. Dengan jam malam dan karantina masih diberlakukan, umat Islam berjuang memahami kondisi normal baru.

Baca Juga

Mengingat Ramadhan di masa yang penuh tantangan ini tiga orang Muslim Rohingya berbagi pengalaman menjalani puasa di tengah Pandemi Covid-19. Mereka dan keluarganya telah lama bermukim di Thailand beberapa puluh tahun.

Hajee Ismael (46 tahun)

Dia merupakan salah satu pendiri Rohingya Peace Network of Thailand Bangkok. Ismael, ayah dari enam anak, melakukan segala upaya untuk membuat pengalaman yang tak terlupakan bagi anak-anaknya selama Ramadhan di Thailand. Dia melakukan cara yang sama orang tuanya tinggalkan dengan kenangan indah merayakan bulan suci selama masa kecilnya di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Setiap tahun dia dapat memenuhi kebutuhan untuk berbuka puasa dengan kurma dan suguhan istimewa meskipun sejak wabah Covid-19, semuanya tidak persis sama.

"Bisnis sangat lambat, jadi tahun ini kami telah mengurangi perayaan Ramadhan. Namun, saya merasa keluarga saya masih jauh lebih baik daripada keluarga Rohingya lainnya yang bergantung pada upah harian untuk mempertahankan diri," kata Ismael, yang telah tinggal di Thailand selama 25 tahun.

Dia mencatat 80 persen dari orang-orang Rohingya di Thailand mencari nafkah dengan menjual roti, dan 20 persen sisanya seperti dirinya yang beruntung terjun ke bisnis kecil untuk mendukung keluarga mereka. Namun, Covid-19 telah membuat hampir semua bisnis bertekuk lutut, termasuk toko kelontongnya, yang hampir tidak bertahan hidup karena pengeluaran masyarakat berkurang.

Masjid yang ditutup lebih awal selama pandemi memperburuk situasi bagi pembuat roti karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan tambahan dari membantu dengan pekerjaan serabutan.

"Meskipun ada sedikit atau tidak ada pendapatan selama periode ini, mereka masih harus membayar sewa dan mengisi perut anak-anak mereka. Di masa lalu, Ramadhan adalah waktu yang sangat baik bagi mereka karena sumbangan sering dilakukan dalam bentuk persediaan makanan.

"Jaringan Perdamaian Rohingya membantu mendistribusikan beras, minyak goreng, dan barang-barang lainnya kepada keluarga Rohingya di seluruh negeri selama bulan Ramadhan. Namun, tahun ini hanya ada sedikit. Begitu banyak yang berbuka puasa dengan apa saja yang bisa mereka dapatkan," ujar dia dilansir di Bangkok Post, Selasa (5/5).