Al-Irsyad Sayangkan Masih Ada Sholat Tarawih Berjamaah

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil

Jumat 24 Apr 2020 18:26 WIB

Al-Irsyad Sayangkan Masih Ada Sholat Tarawih Berjamaah . Foto: Ketua MUI Pusat Abdullah Jaidi  Foto: Republika/Mahmud Muhyidin Al-Irsyad Sayangkan Masih Ada Sholat Tarawih Berjamaah . Foto: Ketua MUI Pusat Abdullah Jaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah KH Abdullah Al-Jaidi menyayangkan sikap sebagian masyarakat, kaum muslimin yang tetap memaksakan pelaksanaan sholat sunnah tarawih secara berjamaah di Masjid. Menurutnya hal itu dianggap sebagai bentuk penolakan adanya kasih sayang yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya dengan cara mengabaikan rukhshah yang telah diberikan.

"Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dapat dikatakan berperilaku sombong di hadapan Allah SWT," kata KH Abdullah Al-Jaidi saat dihubungi, Jumat (24/4).

Baca Juga

Menurut KH Abdullah, adanya rukhshah atau keringanan dari Allah tersebut merupakan bagian dari kasih sayang Allah pada hamba Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman-Nya dalah surah Al-Baqarah ayat 185

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".

Demikian juga dengan firman Allah pada Surah An-Nisaa ayat 28 "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

KH Abdullah menyampaikan pandemi Covid-19 yang kini melanda Indonesia, termasuk kategori uzur yang mengharuskan adanya pembatasan ruang gerak atau interaksi sosial masyarakat. Untuk itu masyarakat harus menjaga jarak demi tidak tertular maupun saling menularkan penyakit. 

"Hal ini dilakukan agar jumlah yang terpapar lebih sedikit, atau bahkan dapat dikendalikan," katanya.

Menurutnya, Management Disaster yang diistilahkan dengan Lockdown, Quarantine, Isolation dan Social Distancing tujuannya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup jiwa manusia sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam surah Al Maidah ayat 32.

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

KH Abdullah Al-Jaidi yang juga sebagai Ketua MUI ini mengatakan pihaknya telah menyampaikan, terutama saat sidang Isbat bahwa, menyelamatkan saudara kita dari terpaparnya pendemi Covid-19 akan memiliki fadhilah atau keutamaan dan bahkan merupakan jihad fisabilillah. Karena telah ikut bersama-sama memerangi wabah yang mengancam jiwa umat manusia.

Menurutnya, pelaksanaan ibadah sholat sunnah tarawih pada bulan Ramadhan hanya dilakukan selama dua kali saja oleh Rasullah secara berjamaah di Masjid, ibadah sunnah muakkadah yang dilakukan di rumah selama pendemi tersebut karena adanya uzur yang menghalangi, maka Allah SWT akan tetap mencatatnya seperti saat kita melakukan ibadah secara normal. "Tentunya sesuai dengan niat dan kebiasaan kita," katanya.

Demikian juga kegiatan-kegiatan lain yang beresiko tinggi seperti buka puasa bersama, harus dihindari dan ditiadakan. Insya Allah jika situasi kembali normal, hal itu semua dapat kita lakukan kembali sebagaimana biasanya.

Ia berharap agar pemerintah, terutama pemerintah daerah yang memberlakukan kebijakan PSBB, hendaknya melakukan upaya maksimal dalam penerapannya, dengan memberikan sosialisasi dan edukasi bagaiman dampak yang tidak menuruti himbau terkait wabah pandemi Covid-19.

"Sosialisasi ini harus secara terus disampaikan kepada masyarakat, bila perlu memberlakukan penindakan secara tegas bersama aparat yang terkait dan yang berkepentingan," kataya.

Berdasarkan pengamatan dan pandangan para ahli kesehatan, pembatasan sosial yang rentan pada penularan dan atau saling menularkan adalah dengan berhimpunnya jumlah manusia dalam satu tempat. Baik itu di tempat-tempat umum maupun tempat peribadatan, termasuk pelaksanaan shalat sunnah tarawih berjamaah di masjid dan musholah.

KH Abdullah memastikan, selama ada uzur yang menghalangi kita untuk beribadah sunnah maupun wajib tersebut, merupakan Rukhshah dari Allah (keringanan) yang telah didasarkan pada dalil Alquran dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.