Senin 20 Apr 2020 18:35 WIB

DPD Siap Beradu Substansi dan Diskursus RUU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja bertentangan dengan undang-undang perlindungan pekerja.

Ribuan buruh menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (16/3).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ribuan buruh menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyikapi tanggapan dari Wakil Ketua Ketua Badan Legislasi DPR, bahwa opini dari Komite III DPD RI yang menolak dan meminta DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta kerja sebagai pemikiran yang prematur, maka Senator dari Jatim yang juga Anggota Komite III DPD RI Evi Zainal Abidin merasa keberatan dan berkepentingan untuk menjelaskan hal tersebut

Menurutnya pernyataan yang dilontarkan oleh DPD bukan sesuatu yang berbau prematur. Namun, hal ini menunjukkan kesiapan DPD secara materi terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja.

Baca Juga

Komite III DPD RI merupakan salah satu alat kelengkapan DPD RI, berkepentingan untuk memberi pandangan dan pendapat terhadap RUU Cipta Kerja. Hal ini didasarkan pada fakta yuridis, terdapat 16 (enam belas) undang-undang yang mencakup bidang tugas Komite III DPD RI yang menjadi muatan RUU Cipta Kerja, yang diubah, direvisi atau dinyatakan tidak berlaku sebagian norma-normanya.

"Pandangan Komite III DPD RI terhadap RUU Cipta Kerja adalah berdasarkan hasil temuan dari kegiatan penyerapan aspirasi daerah dan masyarakat (Reses) pada bulan Februari 2020 yang lalu," ujarnya dalam siaran pers, Senin (20/4).

Selama masa reses tersebut, DPD, menurut Evi, mendapatkan beragam aspirasi dari beberapa komponen daerah dan masyarakat serta kalangan akademisi. Saat membahas pasal-pasal yang berkenaan dengan tenaga kerja dan serikat pekerja diundang DPD hadir bersama Disnaker Jatim.

"Saat membahas pasal-pasal yang berkaitan dengan jaminan produk halal, kami libatkan kalangan akademisi dari Unibra, Unair, Unesa, UIN bersama Kanwil agama Jatim. Begitu pula pada saat membahas pasal-pasal yang terkait dengan perguruan tinggi, kamipun beraudensi dengan para rektor dari berbagai universitas swasta di kota Surabaya," katanya.  

Hasil kegiatan penyerapan aspirasi tersebut, ditemukan beberapa permasalahan yang sangat mendasar, dimana hal itu dinilai bertentangan dengan asas otonomi daerah. Secara subtansi RUU Cipta Kerja dinilai mengembalikan asas sentralistik dalam bernegara. Terhadap hal itu, DPD memiliki keterkaitan yang sangat kuat, dimana urusan tentang otonomi daerah adalah salah satu kewenangan DPD yang diamanatkan oleh Konstitusi.

Menurutnya jangan sampai RUU Cipta Kerja ini hanya dominan dalam peningkatan investasi saja tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan hidup, hak-hak pekerja, asas desentralisasi, dan aspek lainnya sebagai pertimbangan filosofi dari undang-undang yang akan terkena dampak pencabutan nantinya. Contoh, RUU Cipta Kerja memang tidak menghapuskan izin Amdal, namun ketentuan RUU tersebut jelas mengingkari asas desentralisasi kembali menjadi sentraliasi, dimana izin amdal dan pembuangan limbah yang semula menjadi kewenangan daearah akan ditarik ke pemerintah pusat.

Tidak hanya itu, secara substansi isi RUU Cipta Kerja sangat bertentangan dengan pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, karena menghilangkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.  Pandangan dan pendapat Anggota DPD RI dijamin oleh undang-undang bahkan konstitusi, sehingga seharusnya siapapun dapat menghormati pendapat anggota DPD RI baik secara pribadi maupun Lembaga.

"Berdasarkan hal-hal tersebut, sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Timur dan pernah juga menjadi Anggota DPR Periode 2014-2019,saya menyatakan siap beradu subtansi dan diskursus RUU Cipta Kerja dengan DPR," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement