Kamis 16 Apr 2020 21:44 WIB

DPD Keberatan RUU Cipta Kerja Dibahas Saat Pandemi Covid-19

DPD meminta Pemerintah buka kesempatan masyarakat menilai RUU Cipta Kerja

Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI Agustin Teras Narang menyatakan pihaknya keberatan terhadap dilakukannya pembahasan RUU tentang Cipta Kerja disaat pandemi Covid-19, yang oleh Pemerintah sudah dinyatakan sebagai Bencana Nasional
Foto: DPD
Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI Agustin Teras Narang menyatakan pihaknya keberatan terhadap dilakukannya pembahasan RUU tentang Cipta Kerja disaat pandemi Covid-19, yang oleh Pemerintah sudah dinyatakan sebagai Bencana Nasional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI Agustin Teras Narang menyatakan pihaknya keberatan terhadap dilakukannya pembahasan RUU tentang Cipta Kerja disaat pandemi Covid-19, yang oleh Pemerintah sudah dinyatakan sebagai “Bencana Nasional". Komite I mengusulkan agar Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja ditunda terlebih dahulu sampai masa pandemi Covid 19 dinyatakan telah berakhir oleh Pemerintah.

Hal ini ia katakan saat memberikan pandangan terhadap rencana pembahasan RUU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang akan dilakukan oleh DPR dengan Pemerintah. "Komite I DPD RI menyarankan agar pada saat pandemi Covid-19 berlangsung, Pemerintah, DPR RI dan DPD RI untuk membuka dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan atau pemangku kepentingan untuk memberikan masukan terhadap isi dan muatan RUU tentang Cipta Kerja melalui sarana daring dan sebagainya (dengan memperhatikan social dan physical distancing)," ucap dia, Kamis (16/4).

Ia juga mengingatkan bahwa Komite I DPD RI melihat banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU tentang Cipta Kerja (493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah). Sehingga menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia yang hyper regulasi.

Komite I DPD RI berpandangan bahwa substansi pengaturan RUU tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Terdapat 2 (dua) pasal dalam RUU tentang Cipta Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan Putusan MK, seperti dalam Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah UU.

"Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU. Selain itu, dalam Pasal 166 disebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung," ungkap dia.

Komite I DPD RI berpandangan bahwa RUU ini banyak menyangkut dengan kepentingan daerah, maka sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Atas dasar itu maka pembahasan terhadap RUU tentang Cipta Kerja ini harus dilakukan secara tripartit oleh DPR RI, Pemerintah dan DPD RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement