Sabtu 21 Mar 2020 16:09 WIB

Isra Miraj dalam Pandangan Ilmiah Guru Besar Fisika IPB

Isra Miraj adalah peristiwa yang bisa dipahami saat ini secara ilmiah.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Isra Miraj dalam Pandangan Ilmiah Guru Besar Fisika IPB. Foto: Guru Besar Fakultas MIPA IPB, Prof Husin Alatas (Kiri)
Foto: Dok IPB
Isra Miraj dalam Pandangan Ilmiah Guru Besar Fisika IPB. Foto: Guru Besar Fakultas MIPA IPB, Prof Husin Alatas (Kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi kaum Muslimin, Isra Miraj tentunya menjadi peristiwa yang mesti diimani. Seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang tidak berbasa-basi lagi saat mendengar tentang peristiwa sakral Isra Miraj. Abu Bakar langsung percaya, Nabi SAW telah melakukan perjalanan yang sulit dimasuki akal saat itu.

Kini, perjalanan spiritual Nabi SAW itu dapat dilihat dari perspektif sains, khususnya fisika. Guru Besar Fisika Teori Departemen Fisika FMIPA IPB University, Husin Alatas, memberikan ulasan tentang Isra Miraj dari perspektif fisika melalui keterangan tertulisnya kepada Republika, Sabtu (21/3).

Baca Juga

Menurut Husin, Isra adalah peristiwa yang secara fisik bisa dipahami saat ini. "Perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu relatif singkat rasanya sudah sangat terang bahwa hal tersebut dapat dilakukan. Mengacu pada perkembangan teknologi pesawat terbang, maka peristiwa tersebut seharusnya bukan lagi sesuatu yang aneh," jelasnya.

Sementara Miraj, papar Husin, dimungkinkan terjadi berdasarkan deskripsi fisika tentang struktur-ruang waktu dan alam semesta dengan dimensi ruang tambahan. Miraj menurutnya adalah perjalanan melalui lubang cacing (wormhole) yang menghubungkan dua titik di alam semesta melalui dimensi ruang tambahan.

Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia itu menerangkan, pada dasarnya sains modern khususnya fisika, termasuk di dalamnya Teori Relativitas Einstein dan kosmologi yang membahas mengenai struktur ruang-waktu dan alam semesta, belum dapat secara baik menjelaskan fenomena miraj ke Sidratul Muntaha.

"Ditambah lagi penjelasan mengenai hal tersebut, sepanjang pemahaman saya, relatif minim diberikan di dalam Alquran. Penjelasan lebih banyak diberikan melalui hadis-hadis Nabi SAW. Fisika kelihatannya masih sebatas mampu memberikan deskripsi bahwa perjalanan semacam itu dapat dimungkinkan secara teori," terangnya.

Jika mengacu pada deskripsi fisika mengenai struktur ruang-waktu, jelas Husin, maka perjalanan Miraj setidaknya dapat dijelaskan dalam kemungkinan teoretis. "Pengalaman sehari-hari kita menunjukkan bahwa kita hidup di dimensi ruang yang berjumlah tiga ditambah satu dimensi waktu," ujar Sekretaris Umum DPP Rabithah Alawiyah itu.

Husin mengatakan, ada salah satu prediksi dari fisika yang cukup populer saat ini, yakni bahwa alam semesta punya dimensi ruang tambahan sehingga ada lebih dari tiga dimensi ruang, ditambah lagi dengan satu dimensi waktu. "Pada alam semesta dengan dimensi ruang lebih dari tiga ini, dimungkinkan adanya jalan-jalan pintas yang secara teori diprediksi keberadaannya oleh Teori Relativitas Einstein," ungkap dia.

Jalan pintas yang dimaksud biasa disebut Einstein-Rosen Bridge atau wormhole (lubang cacing) yang menghubungkan dua titik dalam ruang-waktu melalui dimensi tambahan tersebut. Dengan begitu, perjalanan antargalaksi misalnya, dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat.

"Keberadaan jalan pintas ini tampaknya selaras dengan sinyalemen Alquran bahwa langit memiliki 'pintu-pintu' seperti disebutkan di dalam Surah Al-Hijr Ayat 14-15. Jika kemudian Baginda Nabi melakukan perjalanan lewat wormhole, lalu ke mana perginya?," tambahnya.

Di dalam Alquran Surah An-Najm Ayat 13-18 diterangkan, Nabi SAW melakukan perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha dan melihat tanda-tanda Allah SWT yang paling besar. Husin menduga, tanda paling besar tersebut adalah lubang hitam atau black-hole. Ini objek paling luar biasa di alam dengan massa yang teramat besar sehingga cahaya pun tidak dapat lepas darinya. Tetapi, teori ini setidaknya memiliki satu kelemahan.

Husin mengungkapkan, jika Nabi SAW berada di dekat black-hole, maka waktu yang dirasakan beliau tentu berjalan sangat lambat. Satu detik di dekat black-hole bisa jadi bertahun-tahun waktu bumi. Karena itu pula, ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa peristiwa Miraj berlangsung dalam waktu singkat menurut ukuran waktu bumi.

Kemungkinan lain, Nabi Muhammad SAW pergi melalui lubang cacing atau wormhole di mana Sidratul Muntaha berada di dimensi tambahan tersebut. Terlebih, dalam hadis disebutkan, terjadi rangkaian kejadian yang menyertai perjalanan Miraj. Maka, berdasarkan Teori Relativitas Einstein, tempat tersebut harus memiliki gravitasi sangat kecil sehingga waktu berjalan lebih cepat ketimbang ukuran waktu bumi.

Kendati demikian, Husin menyadari, makna dari tanda-tanda Allah SWT yang paling besar sebagaimana yang dimaksud dalam Surah An-Najm ayat 18, besar kemungkinan bukan lubang hitam. Melainkan sesuatu yang mungkin berbeda dan belum ada prediksinya di dalam teori saat ini.

Husin juga menekankan, apa yang dia paparkan ini merupakan spekulasi yang didasari beberapa observasi dan prediksi fisika, khususnya mengenai struktur ruang-waktu. Sebab, peristiwa Miraj sejatinya merupakan peristiwa sarat dengan hal-hal yang hanya bisa diimani.

"Meski demikian, secara teori, berdasarkan pemahaman fisika, hal itu dapat terjadi. Sementara mekanismenya hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang mulia yang mengetahui," kata Husin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement