Kamis 19 Mar 2020 22:35 WIB

Abu Hurairah Jelang Wafat dan 4 Bekal Menjemput Kematian

Abu Hurairah menyiapkan belak menjemput kematian.

Abu Hurairah menyiapkan belak menjemput kematian. Tempat Pemakaman Umum. Ilustrasi.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Abu Hurairah menyiapkan belak menjemput kematian. Tempat Pemakaman Umum. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap Muslim mesti mengingat kematian dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya memerlukan bekal, baik fisik maupun nonfisik (spiritual). 

Kitab suci Alquran menyebut takwa sebagai sebaik-baik bekal. “Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS Al Baqarah [2] 197).

Baca Juga

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, Sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Mahakuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke surga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan?”

Lalu, Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini!” Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke Rahmatullah. (Ibn Rajab, Jami` Al`Ulum wa Al Hikam). 

Dalam menghadapi kematian tersebut Muslim perlu menyiapkan bekal. Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam. Pertama, transendensi yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah. Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT. Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu`minun bi al-ghayb (QS Al Baqarah [2] 3).

Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan. 

Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.

Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan orang yang benar-benar percaya kepada Allah dan percaya pada balasan-Nya.

Firman-Nya, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah [2] 45-46).

Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri. Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). 

Allah SWT akan  membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS Al Ankabut [29] 69).

   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement