Wednesday, 22 Syawwal 1445 / 01 May 2024

Wednesday, 22 Syawwal 1445 / 01 May 2024

MPR: Jangan Bermimpi Mengubah Dasar Negara

Ahad 17 Sep 2017 13:50 WIB

Red: Gita Amanda

impinan Badan Sosialisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bachtiar Aly berbicara di Sosialisasi Empat Pilar Pancasila di Palembang, Sabtu (16/9).

impinan Badan Sosialisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bachtiar Aly berbicara di Sosialisasi Empat Pilar Pancasila di Palembang, Sabtu (16/9).

Foto: MPR RI

REPUBLIKA.CO.ID PALEMBANG -- Pimpinan Badan Sosialisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bachtiar Aly menegaskan, jangan bermimpi untuk mengubah dasar Negara. Sebab komitmen kebangsaan Indonesia sudah selesai, dan sudah diatur sedemikian rupa dengan Pancasila sebagai dasar negara. 

“Jadi, untuk mengubah kita punya dasar negara sudah sangat tidak mungkin. Muskil (sulit) sekali,” kata pria asal Aceh yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR RI itu.

Masih kata Bachtiar Aly, Pancasila juga tak hanya sekadar sebagai alat pemersatu. Sebab jika Pancasila hanya sebagai alat pemersatu maka akan terjebak seperti keinginan DN. Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). 

"Aidit mengatakan, kalau kita sudah bersatu, kenapa pula kita pakai Pancasila,” ujar Bachtiar Aly bercerita di depan 100 peserta Sosialisasi Empat Pilar dengan metode outbound di Hotel Grand Zuri, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (16/9) siang lalu.

Ketika menyampaikan materi tentang “Hak dan Kewajiban Warga Negara Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” Bachtiar Aly terlebih dulu menguraikan bagaimana para pendiri bangsa menyiapkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan bersatu.  Menurutnya Indonesia punya visi, punya prinsip.

Bayangkan, menurut Bachtiar, mana ada negara di dunia ini, sebelum eksis sebagai negara, pemuda-pemudi sudah bermimpi untuk memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Itu terjadi pada 1928. Singkat cerita, dalam Kongres Sumpah Pemuda pada 1928, dengan peserta dari kalangan terbatas, para pemuda-pemudi Indonesia berdiskusi, bukan dalam bahasa Indonesia melainkan bahasa Belanda. Sebab memang mereka adalah mahasiswa Kedokteran Stovia, sekolah paling elit pada masa itu.

“Mereka ini bermimpi suatu waktu negeri ini merdeka maka kita akan mempunyai bahasa satu,” kata Bachtiar Aly melalui siaran pers.

Apa yang terjadi? Bahasa Indonesia itu bukan diambil dari bahasa mayoritas masyarakat Jawa, tapi yang dipilih bahasa Melayu. Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan orang Jawa, dengan jiwa besar mengatakan Bahasa Melayu memang bahasa yang dikenal, bahasa perdagangan, bahasa pergaulan, jadi sehingga sudah semestinya dikukuhkan menjadi bahasa persatuan.

Jadi, menurut Bachtiar Aly,  dari segi bahasa kita sudah selesai. Sementara banyak negara di dunia masih memperdebatkan soal bahasa persatuan, maka Indonesia berbahagia dari Sabang hingga Merauke orang mengerti bahasa persatuannya, bahasa Indonesia.

“Kalau di sana sini masih ada dialeg yang tidak pas, itu ekses, tidak ada masalah. Karena  itu sikap toleransi diperlukan,” ujar Bachtiar Aly.

Begitu pula saat para pendiri bangsa akan merumuskan Pancasila. Rumusan Pancasila itu, menurut Bachtiar Aly, diadopsi dari Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Tapi melalui tim kecil beranggotakan para negarawan yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta  maka muncul kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dan diganti dengan kalimat, "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Dengan demikian, menurut  Bachtiar Aly, komitmen kebangsaan Indonesia juga sudah selesai. Maka jangan bermimpi untuk mengubah dasar Negara Indonesia. “Itu sudah sangat tidak mungkin,” katanya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler