Kamis 05 Aug 2010 06:15 WIB

Banyak Vaksin dan Obat Masih Diragukan Kehalalannya

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Beberapa bulan terakhir kontroversi vaksin meningitis bergulir karena dinyatakan tidak halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Vaksin tersebut adalah keluaran pabrik Glaxosmithkline dari Belgia.

Namun ternyata vaksin meningitis Glaxo tak sendri. Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan masih banyaknya vaksin dan obat yang selama ini beredar di Indonesia, belum jelas tingkat kehalalannya. Padahal, lanjutnya, vaksin dan obat tersebut telah terkontaminasi campuran-campuran tidak halal.

Ia menduga masalah itu disebabkan tidak ada labelisasi halal pada obat dan vaksin tersebut. Saat masih menjabat sebagai pimpinan Komisi VIII bidang kesehatan pada 1992-1997, ia pernah menanyakan masalah labelisasi halal pada obat dan vaksin kepada Menteri Kesehatan pada kala itu, Achmad Sujudi.

“Saya bertanya kepada Pak Sujudi tentang labelisasi vaksin dan obat, tapi dia menjawab, ‘Di Mekah saja tidak ada’,” ungkap Khofifah usai menjadi pembicara dalam acara Kongres Nasional XI Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di Hotel Horison, Bandung, Rabu (4/8) pagi.

Tidak adanya labelisasi halal untuk vaksin dan obat yang beredar di Indonesia tentu sangat membahayakan bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Khofifah menanyakan itu karena banyak anggota DPR yang menderita penyakit diabetes dan harus diberikan insulin.

Ia mengklaim mendapatkan informasi yang sangat valid jika insulin berasal dari tulang babi yang dibakar lalu diproses sedemikian rupa. Itu berarti insulin berasal dari input yang haram.

Lalu ia juga menyebutkan vaksin imunisasi yang kerap diberikan kepada anak-anak balita belum jelas pula kadar kehalalannya. Ia sampai harus meminta klarifikasi kepada Menteri Kesehatan RI selanjutnya, Siti Fadillah Supari, mengenai kehalalan vaksin imunisasi.

“Lalu Ibu Siti Fadillah Supari meyakinkan jika vaksin imunisasi itu halal, maka saya pun akan ikut mempromosikannya ke daerah-daerah," ungkap Khofifah. "Tapi jika tidak jelas halalnya seperti vaksin meningitis, maaf saja, saya tidak akan menganjurkannya bagi umat Islam,” tegasnya.

Mengenai kasus vaksin meningitis, ia agak kesal dengan sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Seringkali alasan yang digunakan pihak Kemenkes untuk menggunakan vaksin yang tidak jelas halalnya itu, dengan menjawab karena kondisi darurat.

Seharusnya, jika pemerintah memiliki political will yang kuat, dapat melakukan pemutakhiran research and development mengenai vaksin tersebut. apalagi, lanjutnya, teknologi sudah sedemikian majunya, untuk mendukung pembuatan vaksin sendiri atau mencari alternatif lain.

Selain itu, pihak kesehatan sangat minim dalam berkoordinasi dengan lembaga-lembaga keagamaan, begitu pun sebaliknya. Menurutnya, diperlukan kerja sama dan dialog sesering mungkin untuk kepentingan masyarakat banyak.

“Selama ini, saya melihat masih adanya ego sektoral pada masing-masing kelembagaan. Jika adanya dialog, semua permasalahan akan cepat terselesaikan, tanpa menimbulkan pro dan kontra dari pihak lain,” imbaunya.

Menteri Kesehatan RI, Endang Sedyaningsih, menyatakan labelisasi kehalalan bukan wewenang Kementerian Kesehatan. Mengenai kadar kehalalan sebuah obat dan vaksin merupakan wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Kami, orang-orang kesehatan, tidak membicarakan halal atau tidak," kilahnya. "MUI memfatwakan diharamkan, kami hanya mengikuti saja karena labelisasi penghalalan wewenang MUI, sedangkan kami hanya menyediakan bahan baku (vaksin),” tukas Menkes lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement