Selasa 29 Jan 2019 08:35 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman Bernapas dengan Satu Paru-Paru

Yang sakit itu Soedirman, panglima besar tidak pernah sakit

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Jenderal Soedirman (kiri) dipeluk oleh Presiden Soekarno semasa kepulangannya di Yogyakarta.
Foto: Wikipedia
Jenderal Soedirman (kiri) dipeluk oleh Presiden Soekarno semasa kepulangannya di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Pagi itu, udara Yogyakarta beraromakan bubuk misiu. Asap mengepul di mana-mana. Belanda kembali menggempur. Suasana tegang juga terasa di Gedung Agung Yogyakarta.

Salah seorang pengawal Soedirman, Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia menulis, Presiden Sukarno, Sri Sultan Hamengku Buwana IX, para menteri dan tokoh penting menggelar rapat kabinet di Gedung Agung. Tanpa sang panglima perang Jenderal Soedirman, mereka membahas langkah Indonesia dalam mempertahankan NKRI.

Tanpa sepengetahuan peserta, Jenderal Soedirmanmenyusul. Soedirman yang tertatih pascaoperasi pengangkatan sebelah paru-paru mengejutkan seluruh peserta rapat. Tak terkecuali, dr Asikin, salah seorang tim dokter yang mengoperasi Soedirman.

Presiden Sukarno mengetahui jejak gelisah di mata panglima perangnya. Namun, saran ndelik (bersembunyi) untuk beristirahat dari Sukarno, diabaikan Soedirman. Dia tak menggubris saran untuk melanjutkan pengobatan. Soedirman beranggapan, saran tersebut tidak baik bagi psikologis tentara perangnya.

photo
Jenderal Soedirman di awal tahun 1946.
“Yang sakit itu Soedirman, panglima besar tidak pernah sakit,” potongan kalimat yang dilontarkan Soedirman menanggapi saran Bung Karno dalam buku Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman karya E. Rokajat Asura.

Sebaliknya, Soedirman malah mengajak Sukarno meninggalkan kota dan ikut berjuang. Namun, Sukarno menolak ajakan itu. Sukarno bersama wakilnya, Mohammad Hatta memutuskan memilih tinggal di kota. Sukarno akan mencoba berjuang melalui jalur diplomasi.

“Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Dalam buku 693 KM Jejak Gerilya Sudirman, Ayi Jufridar menuliskan Soedirman tak menyerah meyakinkan Bung Karno untuk ikut bergerilya. Menurut dia, jalur diplomasi tidak akan dihargai oleh Belanda. Alih-alih sukses berdiplomasi, Soedirman khawatir Sukarno malah terbunuh. Namun, Bung Karno tak goyah dengan pendiriannya.

Soedirman pulang, bahkan sebelum sidang kabinet selesai. Dia menelan kekecewaan atas penolakan Bung Karno dan Bung Hatta. Kemudian, dia mendengar hasil sidang kabinet.

Pertama, Bung Hatta merangkap jabatan sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan. Kedua, Bung Hatta akan menganjurkan segenap anggota TNI, serta rakyat Indonesia melakukan perang gerilya, melalui siaran radio.

Ketiga, Presiden Sukarno segera mengirim kawat pada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara  yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat (Sumbar). Jika Sukarno dan Hatta tertangkap, Syafruddin segera membentuk pemerintahan darurat dan menyusun kabinet baru, sekaligus mengambil alih pemerintahan.

Bung Hatta mempertimbangkan sebuah kemungkinan Syafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat. Karena itu, jika Syafriddin gagal, maka Alex Maramis yang sedang berada di India, harus membentuk pemerintah di pengasingan bersama Duta Besar RI di India, Sudarsono.

Soedirman duduk di kamarnya. Dia memegang pena, memandang selembar kertas kosong. Kemudian, Soedirman menulis Perintah Kilat untuk prajurit dan masyarakat. Dalam kertas itu tertulis, “Pengumuman Perintah Kilat Panglima Besar Angkatan Perang. Pertama, kita telah diserang. Kedua, pada 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Ketiga, pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. Keempat, semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan dalam menghadapi serangan Belanda.”

Soedirman menyerahkan surat itu pada Suparjo, agar diteruskan pada Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking untuk sampai ke RRI Yogya melalui telepon. Dia berharap segenap angkatan perang RI mendengar Perintah Kilat itu.

Jalan panjang dimulai. Soedirman yang bernafas dengan satu paru-paru meninggalkan Yogyakarta menggunakan mobil. Rombongan bergerak pelan, sebab beberapa tentara mengikuti dari belakang. Setelah berjalan 20 km, rombongan sampai di Kretek. Jejak mobil ditinggal jauh-jauh. Rombongan harus menyeberang Sungai Opak. Mereka dibantu anak buah Camat Kretek yang dengan mudah mengendalikan getek (susunan bambu untuk menyeberang).

Kampung di seberang Sungai Opak bernama Grogol. Soedirman sudah ditunggu Lurah Grogol, Mulyono Jiworejo. Sebuah dokar sudah disiapkan untuk kendaraan Soedirman.

Jejak gerilya Soedirman dan pasukan selalu dibantu warga. Tiga hari pascameninggalkan Yogyakarta, Soedirman mendapati kabar tertangkapnya Bung Karno, Bung Hatta, serta sejumlah pemimpin lainnya dari Letda Basuki.

Dalam buku Sang Pedjoang: Ketika Secarik Kertas Berbicara karya Dien Albana, Soedirman menganggap masuk keluar hutan untuk bergerilya menjadi penegasan, Indonesia tetap berdaulat. Komando telah disebar ke seluruh negeri. Di mana pun, tentara harus melakukan perlawanan pada Belanda. Atas perintah Soedirman, pemimpin batalyon segala devisi segera menyusun strategi gerilya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement