Ahad 27 Jan 2019 20:28 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman, di Antara Dua Orang Kiri

Soedirman pernah terseret konflik elite-elite politik nasional

Jenderal Soedirman
Foto: Wikipedia
Jenderal Soedirman

Kolonel Soedirman terseret ke dalam konflik politik elite-elite nasional dua bulan setelah ia terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di satu sisi, ada duet Sutan Syahrir dan Amir Syafruddin dengan kekuatan kabinet sosialisnya. Di sisi lain, muncul Tan Malaka, Bapak Republik beraliran Marxis, yang mendirikan Persatuan Perjuangan sebagai kekuatan politik baru untuk menekan pemerintah.

Dalam beberapa literatur disebutkan, selama enam bulan pertama 1946 posisi Soedirman menjadi amat penting bagi keutuhan Indonesia saat itu. "Everything now depends on Soedirman." Demikian pendapat penulis Louis Fischer melihat pertarungan politik internal di Indonesia saat itu seperti tertuang dalam bukunya, "The Story of Indonesia" yang terbit pada tahun 1959, seperti dikutip dalam Yahya Muhaimin, "Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966" yang terbit pada tahun 1982.

"Secara pribadi, Pak Dirman dengan Syahrir itu memang tidak bagus hubungannya. Kurang bagus. Syahrir terlalu ke Barat. Syahrir kerap menyampaikan: Panglima tentara haruslah bisa berbahasa Belanda atau bahasa asing lainnya. Sementara, Pak Dirman di mata Syahrir itu tidak memiliki kemampuan berbahasa asing yang bagus. Itu salah satu persoalan pribadinya." Demikian pendapat Kepala Bidan Dokumen Pusat Sejarah TNI (Pusjarah) Letkol Caj Kusuma saat diwawancarai Republika.co.id perihal sosok Soedirman dalam sejarah. Wawancara berlangsung di Ruang Balairung Pahlawan, Gedung Pusjarah TNI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Konteks politiknya saat itu memang agak memanas. Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menhan Amir Syarifuddin Harahap menginginkan pembentukan sebuah pemerintahan yang ideal dan modernis. Demokrasi yang dianut Syahrir berarti meletakkan kepemimpinan sipil di atas kepemimpinan militer. Kemudian, dibutuhkan sosok militer yang terbebas dari masa lalu, terutama generasi PETA.

Pengangkatan Soedirman (dari kelompok PETA) menjadi panglima TKR dan kelompok militer memilih Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan mementahkan keinginan Syahrir itu. Apalagi, Syahrir-Amir selalu beranggapan generasi militer PETA mewariskan ideologi fasis Jepang. Syahrir lebih condong kepada kepemimpinan Oerip Soemohardjo, didikan KNIL, yang pandai berbahasa asing dan menguasai manajemen tentara.

Dwitunggal Syahrir-Amir selalu menarik tentara untuk tunduk pada pemerintahan sipil. Sementara, Soedirman yang dipilih oleh tentara menjadi panglima selalu menekankan bahwa posisi militer dan pemerintahan sipil itu sejajar. Walaupun pada satu titik, Soedirman selalu mematuhi perintah pemerintah, terutama Presiden Sukarno.

Friksi Syahrir-Amir melawan Soedirman terus dalam situasi tegang. Bahkan, sampai saat Syahrir-Amir bertemu dengan kelompok militer pun, TB Simatupang mengingat, masih terdapat beda pendapat yang keras di antara kedua kubu. Kebijakan-kebijakan lanjutan Syahrir-Amir terhadap militer, seperti pendidikan politik perwira (memasukkan unsur sosialis ke tubuh militer), pengangkatan perwira tandingan, membuat situasi di dalam tubuh tentara makin runyam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement