Kamis 25 Oct 2018 13:32 WIB

Naturalisasi Ejaan

Sejumlah kata Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Naik ojek daring ke Euro Management, Aprisany Enggelinn Aryesta, peserta kursus bahasa Belanda menyebut ‘menteng hais’ sebagai patokan. Euro Management berada persis di seberang Menteng Huis.

Ketika tiba di lokasi, pengemudi ojeknya bertanya, "Menteng haisnya mana?”

Peserta kursus lalu menunjuk gedung Menteng Huis. "Oh, Menteng Huis," kata pengemudi ojek.

Setelah mengikuti kursus bahasa Belanda di Euro Management, Aprisany merasa perlu mengucapkan secara benar untuk penyebutan Menteng Huis. Huis (rumah) dibaca hais. Namun, ketika pengemudi ojek mengoreksi ucapannya, ia merasa bersalah, karena itu ia enggan mengoreksi pernyataan pengemudi ojek itu.

Orang awam akan tetap menyebut Menteng Huis dengan Menteng Huis, tidak menjadi Menteng Hais. Kita telanjur bertemu dengan huis hanya lewat tulisan, tidak lewat ucapan, sehingga membacanya sesuai ejaan yang ada. Ada banyak kata Belanda yang kita serap berdasarkan bunyi, bahkan ejaan aslinya hilang sama sekali demi kenyamanan lidah Indonesia dalam melafalkannya.

Tak jauh dari Menteng Huis ada Masjid Cut Meutia. Dulu, bangunan masjid ini merupakan kantor biro arsitektur NV de Bouwploeg. Lidah Indonesia mengucapkan Bouwploeg cukup dengan boplo. Maka, boplo lebih terkenal, sehingga pasar di dekatnya juga disebut Pasar Boplo, asal-muasal tempat berjualan Gado-Gado Boplo. Masih ada juga Apotek Boplo.

Ketika mengerjakan tugas menyusun kalimat dalam bahasa Belanda, seorang peserta kursus bertanya kata Belanda dari ‘sopir’. "Syofier," jawab guru bahasa Belanda di kelas Euro Management, Nurul Primayanti.

photo
Kursus bahasa Belanda di Euro Management. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

"Ejaannya bagaimana mevrouw?" lanjut peserta kursus penerima beasiswa Program Indonesia 2030 Euro Management itu.

Nurul segera mengambil spidol dan menuliskannya di papan tulis: Chauffeur. "Kata ini berasal dari bahasa Prancis," ujar Nurul menjelaskan.

Chauffeur merupakan ‘kesuksesan’ Prancis. Kata yang muncul di akhir abad ke-19 ini kemudian juga diambil Inggris-Amerika setelah bertahun-tahun Prancis menyerap banyak kata Inggris. Self service, misalnya, diserap Prancis menjadi le self. Beef steak menjadi le biftek, west menjadi ouest, roast beef menjadi le rosbif.

Inggris kemudian memakai driver sebagai pengganti chauffeur. Koran the New York Times edisi 12 Agustus 1906 menyebut chauffeur dilafalkannya sebagai shover. Chauffeur berasal dari stoker, tukang pemanas mobil. Sopir-sopir di masa lalu ternyata juga mempunyai tugas memanaskan mesin mobil.

Banyak pengamat bahasa menilai Prancis menjadi lemah bukan karena begitu banyak meminjam kata-kata asing dari berbagai bahasa. Prancis menjadi lemah karena seluruh dunia tak lagi meminjam begitu banyak kata Prancis. Majalah Le Point, seperti dikutip Bill Bryson, menegaskan, "Kontribusi teknis kami berhenti di kata chauffeur."

Lewat bahasa Belanda, chauffeur masuk Indonesia. Lafal Belanda syofier lantas menjadi sopir, menyesuaikan kemampuan lidah orang Indonesia mengucapkan kata-kata yang sulit. Ada banyak kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan bunyi, lalu mematikan ejaan aslinya, sebelum bahasa Indonesia memiliki aturan penyerapan didasarkan pada ejaan.

Dalam bahasa Inggris ada research yang diserap menjadi riset sesuai bunyinya. Bujet yang berasal dari bahasa Prancis bouqette diindonesiakan menjadi bujet. Maka, mengambil pola ini, gadget selayaknya bisa diserap menjadi gajet, tanpa perlu mempertahankan ejaan asli gadget seperti yang sudah ditulis di KBBI daring.

Banyak yang lebih suka menyebut gajet ketimbang gawai. Di Kalimantan gawai telah menjadi nama festival budaya yang sering didatangi bule-bule: Festival Gawai. Gawai dalam bahasa Melayu Banjar berarti pesta atau hajat.

Yang diserap berdasarkan penyesuaian kemampuan lidah juga ada. Koetjiap dari bahasa Cina di Indonesia menjadi kecap yang kemudian diserap ke bahasa Inggris menjadi ketjup. Awal mulanya tentu dari Cina ke Melayu. Kecap Melayu pada abad ke-17 lalu menjadi ketjup Inggris.

Benteng Moraya di Minahasa, ternyata dari bahasa Spanyol, muralla (tembok). Arloji merupakan penyesuaian lidah Indonesia dari horologe Prancis. Mematikan ejaan asli sehingga menjadi ejaan Indonesia, menurut Remy Sylado, merupakan hal yang wajar.

Ketika syofier menjadi sopir, bagi orang Indonesia, sopir laksana kata asli Indonesia. Terlebih bagi orang Jawa, kata ini dimaknai sebagai kependekan dari ngaso mampir, kebiasaan para sopir yang jika sedang istirahat mampir ke warung kopi.

Mematikan ejaan asli banyak terjadi di Jepang ketika menyerap kata-kata asing. Ketika kita mendengar erebata, nekutai, sarada, bifuteki, apputodeito, gurama, haikurasu, masukomi, moga, dan purodakuchibichi, misalnya, kita seperti benar-benar sedang berhadapan dengan kata asli Jepang. Padahal, kata-kata itu diserap dari bahasa Inggris. Erebata dari elevator, nekutai dari neck tie, sarada dari salad, bifuteki dari beef steak, apputodeito dari up to date, gurama dari glamour, haikurasu dari high class, masukomi dari mass communication, moga dari modern girl.

Sedangkan, purodakuchibichi dari productivity. "Meski panjang, tapi ini lebih nyaman di lidah Jepang," ujar Bill Bryson, penulis Mother Tounge, tentang purodakuchibichi. Orang Jepang juga menjepangkan smart menjadi sumato, newly rich menjadi nyuu ritchi. Di Ukraina, hair cut menjadi herkot. Di Kroasia, pay day menjadi peda. Shake hands di Inggris berubah total di Italia, menjadi schiacchenze, yang disebut Bill Bryson sebagai juara proses naturalisasi ejaan.

Di Papua, sampai hari ini masih dikenal mop, yaitu cerita lucu, yang berasal dari kata Belanda mopje. Di Manado, ada kata mar (tetapi) yang diambil dari Belanda, maar. Di Jawa, di abad ke-19 muncul koffie yang diucapkan menjadi kopi, menggantikan kahwa yang sudah dikenal di Jawa di abad ke-17.

Ada pula zwempak (celana renang) menjadi sempak (celana dalam). Fiets (sepeda) menjadi pit. Sepeda diserap dari Prancis, velocipede. Te laat menjadi telat. Pronk kast (lemari etalase) menjadi prongkas. Katapult menjadi ketapel. Netjes menjadi necis. Pot lood menjadi potlot. Zuurzoet (asam manis) menjadi sirsak.

Saya belum bisa membayangkan asal mula penamaan buah sirsak ini. Jangan-jangan saat itu ada orang Belanda makan buah yang berasa asam manis itu, lalu ia bilang zuur zoet, dan kemudian diambil orang Indonesia sebagai nama buahnya: sirsak, sesuai lidah Indonesia.

Di kelas Euro Management, banyak disebut nama-nama buah dan makanan. Ada pula thee menjadi teh. Gerecht yang artinya hidangan menjadi gereh untuk nama ikan asin.

Begitu juga nama-nama jenis kegiatan sesuai kebiasaan orang Belanda sering menjadi bahasan di kelas. Guru bahasa Belanda, Mevrouw Karimah, meminta peserta kursus membaca naskah untuk melatih pelafalan dan mengenal kata-kata baru. We noemen dinsdag ook wel strijkdag.

"Kita menyebut hari Selasa sebagai hari untuk menyetrika," ujar Karimah mengartikan kalimat yang baru dibaca peserta. Setrika diambilkan dari kata strijkijzer. Arti harfiahnya besi lempeng. Dulu, setrika hanya berupa besi lempeng yang dipanaskan sebelum dipakai menggilas pakaian.

Terakhir, Belanda memiliki kakhuis (rumah kotoran) yang di Indonesia menjadi kakus. Kata ini, kemungkinan besar juga diserap bukan oleh telinga, melainkan oleh mata. Maka, kata itu tidak diserap menjadi kakhais, sebagaimana seharusnya huis dibaca hais, melainkan menjadi kakus. Ejaan aslinya juga telah dimatikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement