Jumat 21 Apr 2017 17:01 WIB
Hari Kartini

Kartini dan Pahlawan Wanita yang Terlupakan

Museum Kartini
Foto: Republika/Mg15
Museum Kartini

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

Saya ingat ketika kecil, setiap menjelang 21 April, ibu sibuk menyiapkan pakaian daerah untuk merayakan Hari Kartini di sekolah. Tradisi yang sampai puluhan tahun hingga kini masih terjaga.

Di lingkungan sekolah di Tanah Air, sejak lama ditanamkan pada anak-anak betapa Kartini adalah pahlawan yang memperjuangkan nasib wanita. Akan tetapi, ada yang berbeda pada Hari Kartini kali ini.

Di ponsel saya, masuk berbagai pesan terkait Hari Kartini, hanya dengan pendekatan yang berbeda, mempertanyakan peran Kartini.

Salah satu pesan mengutip buku Satu Abad Kartini. Dalam salah satu artikel, Prof Harsja W Bachtiar, doktor sosiologi lulusan Harvard University, mempertanyakan mengapa harus RA Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia.

Ia menunjuk dua sosok wanita hebat dalam sejarah panjang Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat yang memerintah Aceh dalam kurun waktu cukup lama, 1644-1675. Selain menguasai bahasa Aceh dan Melayu, sang sultanah menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, juga bahasa Urdu.

Pada masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Karya besar dari Syekh Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf lahir pada zamannya. Ia juga dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun kaum hawa. Sang Sultanah bahkan berhasil menggagalkan usaha Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melakukan monopoli atas perdagangan komoditas di wilayah kekuasaannya.

Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, melainkan juga mahir dalam kesusastraan. BF Matthes, ahli sejarah tentang Sulawesi Selatan dari Belanda, mengaku mendapat manfaat besar dari epos La-Galigo, sebuah karya sastra yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos tersebut disusun sendiri oleh We Tenriolle. Pada 1908, ia mendirikan sekolah di Tanette, tempat pendidikan modern pertama untuk anak-anak pria maupun wanita--terbuka bagi semua kalangan masyarakat.

Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu, tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Balai Pustaka, 1978) yang merupakan terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia. Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Penelusuran Prof Harsja W Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia.

Pesan kedua yang masuk ke ponsel saya juga mempertanyakan Hari Kartini, mengutip Jurnal Islamia yang ditulis oleh Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah alumnus Universitas Indonesia. Dalam artikel tersebut terdapat sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika dari Bandung dan Rohana Kudus dari Padang.

Dua wanita ini berjuang lebih dari Kartini. Dewi Sartika bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita, melainkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang tersebar di berbagai tempat, baik di Bandung maupun luar Bandung.

Rohana Kudus (1884-1972) selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Jika Kartini hanya menyampaikan ide-idenya melalui media surat, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah mewujudkan pemikirannya dalam tindakan nyata.

Pesan ketiga yang juga masuk adalah terkait perbandingan pemikiran Kartini dan Cut Nyak Dien yang dikutip dari penulis Zaynur Ridwan. Dalam suratnya, Kartini berujar, "Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu ...."

Sedangkan, Cut Nyak Dien berpesan pada anak perempuannya, Cut Gambang, ketika ayahnya, Teuku Umar, tertembak mati. "Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid."

Dalam suratnya, Kartini berujar, "Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah ku pilih." Sementara, Cut Nyak Dien berkata, "Untuk apa bersahabat dengan Ulanda Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan merendahkan martabat kita sebagai Muslim!"

Terus terang, pesan-pesan tersebut membuka persepsi baru tentang sosok Kartini. Tapi, benarkah kepahlawanannya perlu kita pertanyakan? Kegelisahan yang akan berulang setiap tahun mendekati Hari Kartini?

Secara pribadi, saya kecil termasuk yang terinspirasi dengan perjuangan Kartini, sebagaimana juga terbakar semangat oleh Cut Nyak Dien dan pahlawan perempuan lain, termasuk Teungku Fakinah, juga Laksamana Malahayati, yang kegigihan semangat juangnya saya abadikan dalam novel Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea.

Membuat sejarah terang benderang tanpa menyudutkan pihak lain tentu hal yang harus dilakukan meski bukan tindakan mudah. Tapi, penting juga untuk bersikap bijak dan melakukan introspeksi. Sudahkah --meski dalam skala sederhana-- kita menjadi pahlawan bagi seseorang, minimal bagi diri sendiri?

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement