Kamis 13 Apr 2017 08:03 WIB

Akhir Cerita Tukang Cukur 'DPR'

Hasanudin sedang merapikan rambut pelanggannya. Hasan merupakan satu-satunya tukang cukur DPR yang tersisa di kawasan sekitar Jatinegara.
Foto:
Sejarawan Ridwan Saidi

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, saat saya temui menceritakan sebelum kemerdekaan Indonesia, para tukang cukur yang biasa memangkal di bawah pohon kebanyakan orang Betawi. “Kami memang dulu orang Betawi terjun juga ke jasa pelayanan polka, sebelum kemerdekaan banyak orang Betawi yang di bawah puhun (DPR),” kata Saidi saat ditemui Republika di kediamannya di daerah Bintaro, Jakarta Selatan, Selasa (11/4). Hingga setelah kemerdekaan, bermunculan orang-orang daerah yang datang ke Jakarta untuk menjadi tukang cukur rambut.

Dikutip dari buku Muh Syamsudin bertajuk Agama, Migrasi dan Orang Madura, profesi tukang cukur banyak juga ditekuni orang Madura. Selain kuatnya tradisi migrasi orang Madura, ditambah kondisi ekologis pulau Madura yang gersang dan tandus sehingga orang-orang Madura banyak yang memilih mencari nafkah di sektor informal seperti tukang satai, dan tukang cukur. Dalam buku tersebut juga dijelaskan, orang Madura memulai perjalanan migrasi terjadi sejak konflik Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677.

Selain itu, profesi tukang cukur juga belakangan identik dengan kota Garut, yang juga dikenal karena dodol dan domba khas Garut. Seperti halnya penuturan Ridwan Saidi, orang-orang Garut berdatangan ke Jakarta setelah kemerdekaan, tepatnya saat terjadi pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) akhir tahun 1940-an.

Warga kecamatan Banyuresmi, Garut, tidak luput mendapat imbas dari pemberontakan DI/TII tersebut. Menyebabkan warga, khususnya laki-laki memilih untuk mengungsi ke kota lain yang dinilai lebih aman. Sejak itulah, banyak orang Garut yang datang ke Jakarta, dan meneruskan pekerjaan sebagai tukang cukur keliling.

Nah, orang Garut, istilahnya nguriling atau keliling. Beda sama yang tukang cukur DPR. Sekarang banyak yang sudah punya kios, ada pangkalannya,” tutur Ridwan Saidi. Menurut Saidi, hingga kini dia masih suka melihat ada tukang cukur yang berkeliling. Walaupun, tidak sebanyak dulu.

Saidi juga bercerita tentang tukang cukur keturunan Cina yang mempunyai service plus-plus. Maksudnya, tukang cukur Cina juga ada layanan untuk cabut bulu hidung dan korek kuping. “Nah kalau tukang cukur Garut, ya ada service-lah saya kira, pijit dikit,” kata Saidi.

Pria yang rambutnya sudah memutih tersebut menyatakan, zaman sekarang yang serba modern, jasa cukur rambut pindah dan beralih ke salon-salon. “Laki-laki juga sekarang banyak yang pada ke salon kan? Heh, nggak suka saya,” celoteh Saidi di sela perbincangan.

Menurut Saidi, kehidupan Ibu Kota hari ini dan dahulu, sangat jauh berbeda. Tentunya, lebih nyaman dan tentram pada zaman dahulu. Termasuk dengan berbagai keunikan, para penjemput rezeki, seperti tukang cukur rambut tempo dulu.

“Saya kira menarik lah dulu itu, karena ketentraman dan kenyamanan. Yang saya maksud dulu itu, termasuk sebelum Orde Baru ya. Karena zaman Pak Karno juga hidup masih enak,” kata Saidi menutup pembicaraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement