Sabtu 08 Apr 2017 09:08 WIB

Mitos Diperkosa Kolor Ijo dan Diculik Kolong Wewe

Hantu (ilustrasi)
Foto: howaboutwe.com
Hantu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Warga Jakarta dan sekitarnya beberapa tahun lalu sempat diresahkan dengan 'Si Kolor Ijo' yang dikatakan punya hobi memerkosa cewek untuk meningkatkan ilmu hitamnya. Saat itu bambu kuning dan daun kelor banyak dicari warga pinggiran Jakarta, seperti Ciputat dan Lebak Bulus. Mereka percaya bila bambu kuning dan daun kelor dipasang di depan rumah akan terhindar 'Si Kolor Ijo'.

Begitu dasyatnya isu 'Kolor Ijo' sampai ibu-ibu takut keluar rumah dan pergi 'ke belakang' pada malam hari. Warga Jakarta juga pernah dihebohkan dengan isu ''rumah hantu'' di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Isunya, pedagang nasi goreng yang mangkal di depan rumah tersebut hilang diculik setan. Masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi rumah tersebut.

Menjelang 1950-an di Jakarta terjadi isu yang lebih menghebohkan. Isunya adalah di halaman depan sebuah rumah di Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, terdapat sebuah pohon beringin. Karena telah berusia puluhan tahun, bagian bawah batang pohon yang rimbun ini berlubang. Isunya, pada malam hari sering keluar manusia-manusia liliput dari batang pohon beringin itu hingga ada yang mengukupi pohon tersebut dengan setanggi di pendupaan. Rupanya, heboh ini berasal dari isapan jempol pers yang disebut ''April Mop''.

Pada bulan April kala itu ada pers yang membuat berita ''April Mop'', tentu saja hanya isapan jempol. Indonesia baru dinyatakan bebas dari penyakit cacar pada 1960-an. Di masa kolonial wabah cacar sering menyerang penduduk sehingga Belanda pernah membuat karantina penyakit ini di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

Cacar bukan saja menakutkan, tetapi membuat muka cacat (bopeng) sehingga diberi gelar ''Mr Bop''. Tentu saja yang bersangkutan marah kalau kita menyebutnya pada yang bersangkutan. Ketika itu bila terjadi wabah para murid diharuskan mendapatkan vaksinasi cacar. Demikian pula orang yang baru lahir.

Seperti diungkapkan H Irwan Sjafi'ie, untuk menghindarkan cacar, warga ada yang sampai memukul ember, kaleng kosong, sampai beduk. ''Mereka percaya ada setan cacar. Untuk menghindarnya mereka memukul bunyi-bunyian untuk menakuti setan cacar,'' kata H Irwan, ketua LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi).

Hal sama terjadi pada gerhana bulan. Bukannya shalat sunah Gerhana seperti dianjurkan agama, malahan memukul bunyi-bunyian. Di samping itu juga banyak yang ngumpet di kolong bale dan tempat tidur. Mereka takut mukanya menjadi belang. Apalagi, ibu-ibu yang hamil, harus cepat-cepat masuk kolong tempat tidur atau bale bila terjadi gerhana matahari. Alasannya, takut kalau melahirkan anaknya belang.

Pada tempo doeloe bambu kuning dan daun kelor juga diyakini untuk menghindari ''kolong wewe'', semacam memedi yang suka mencari mangsa bocah kecil. Kala itu anak-anak agar tidak keluar malam ditakut-takuti ibunya, ''Awas lho, nanti diculik kolong wewe.''

Kala itu batang daun kelor dipercaya akan bisa menghilangkan susuk yang konon kini banyak digandrungi para selebriti untuk memikat para penggemarnya. ''Bila si pemakai susuk digebuk batang kelor, susuknya akan musnah,'' kata H Irwan.

Jauh sebelum kedatangan Islam, masyarakat menganut kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan nenek moyang berintikan hubungan manusia dengan dunia arwah. Karenanya, pada upacara-upacara seperti membangun rumah, di atas tiang atap diberi sesaji berupa pisang setandan dan batang padi.

Di samping mempercayai arwah manusia masih memengaruhi kehidupan manusia yang masih hidup, mereka juga percaya peran pengendali kemakmuran. Misalnya, Dewi Sri yang mengendalikan kemakmuran persawahan. Atau Dewi Sadra pada upacara nyadran yang dianggap mengendalikan kemakmuran kelautan.

Sampai kini masih banyak percaya ada Nyi Loro Kidul yang dipercaya sebagai penjaga di laut selatan. Konon sampai kini satu kamar di Hotel Ambarukmo tidak diisi, diperuntukkan bagi Nyi Loro Kidul.

Di Jakarta terdapat nama tempat dengan sebutan Kampung Kramat. Kata kramat, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, merupakan perkataan Arab (karomah) yang sudah dikenal sebelum kedatangan Islam. Kampung Kramat pada tempo doeloe terdapat makam dari seseorang yang dihormati.

Dalam seni wayang, baik wayang golek maupun wayang kulit, terdapat istilah ngeruwat. Kira-kira menjelang pukul 12 malam, si dalang akan memberitahukan penonton bahwa "Sang Batarakala", makhluk raksasa penyebar bala, sedikit waktu lagi akan keluar. Karenanya, penonton yang tidak ingin berada sampai pagi diminta segera meninggalkan arena pertunjukan karena makhluk "raksasa" ini akan memakan otak manusia, biasanya di perempatan jalan.

Karena itu, pada masa lalu sering kita jumpai ancak di perempatan jalan, berupa kembang tujuh rupa, air mayar, telur ayam, dan lisong. Tentu saja kepercayaan demikian tidak dibenarkan Islam karena termasuk syirik, percaya pada kekuatan selain Allah. "Termasuk percaya 'kolor ijo'," kata Haji Irwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement