Kamis 30 Mar 2017 03:05 WIB

Riwayat Haji Naim, Tukang Urut Legendaris dari Cimande

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Karta Raharja Ucu
RANA: Proses pengobatan di lokasi pengobatan pijat patah tulang Haji Na'im.
Foto: Agung Surpiyanto/Republika
RANA: Proses pengobatan di lokasi pengobatan pijat patah tulang Haji Na'im.

REPUBLIKA.CO.ID, Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, Rabu (29/3) pagi, sudah dipadati puluhan kendaraan dari berbagai jenis. Pada jam-jam sibuk, jalan-jalan di Jakarta menjadi rimba, sementara kendaraan-kendaraan sebagai penghuninya bergerak ganas menerkam tak hanya aspal, tapi juga jalur pedestrian.

Pagi itu, sebuah mobil Avanza berwarna putih memasuki satu Jalan MPR III Dalam, Cilandak Barat berukuran sekitar tiga meter yang membelah rumah-rumah berbagai ukuran dan warna. Avanza itu berhenti di pertigaan jalan dan sang sopir menurunkan kaca lalu bertanya kepada pengemudi ojek yang sedang mangkal. "Tempat Pijat Haji Naim dimana bang?" ujar dia sedikit berteriak karena jarak mobil dan pangkalan ojek yang berjarak sekitar satu meter.

"Lurus saja pak, nanti ada belokan kanan, itu rumahnya," jawab tukang ojek yang sedang duduk di bangku kayu depan pos satpam bercat putih dengan besi hitam panjang sekitar 50 sentimeter berbentuk silinder yang tergantung di pojok kanan pos satpam.

Setelah mengucap 'terima kasih', Avanza putih itu kembali melaju mengikuti intruksi dari pengemudi ojek. Mobil itu berhenti di lahan parkir depan rumah bercat krem dengan satu atap segitiga yang tersusun dari lapisan seng abu-abu yang mulai memudar dimakan usia, dan atap lain berbentuk sama yang tersusun dari genting metal berwarna merah bata yang terletak disebalah atap dari seng.

Rumah berlantai satu itu sederhana dengan halaman depan yang dibiarkan terbuka tanpa pagar untuk tamu-tamu memarkirkan kendaraanya. Ada dua ruangan besar dengan pintu berwarna hijau tua di bagian depan rumah. Dua ruangan itu diselingi beberapa jendela panjang yang dihiasi dengan teralis besi. Jendela dibuka dengan cara didorong satu sisinya, sehingga satu sisi berada di dalam ruangan dan yang lain berada di luar ruangan.

Terdapat lima tiang penyangga dari kayu di depan rumah. Tiang-tiang tersebut dicat berwarna hijau tua. Setiap tiang tersambung oleh tempat duduk dari beton dengan lebar sekitar dua jengkal dan tinggi sebatas betis. tempat duduk beton itu dicat sewarna dengan dinding rumah. Rumah itu adalah tempat praktik pijat legendaris Jakarta, Haji Naim.

Saat saya memasuki rumah, sekitar enam orang yang merupakan pasien duduk di bangku beton. Ada yang sedang berkutat dengan telepon pintarnya untuk sekedar mengakses internet atau menelpon kerabat. Ada pula yang sedang duduk dengan pandangan kosong lurus ke depan.

Teriakan pasien yang sedang dilayani terdengar pilu di telinga menyambut kedatangan saya. "Aduuuhh.... Ya Allah..." teriak salah satu pasien dari dalam ruangan.

Saya menghampiri salah satu pasien, seorang ibu berkerudung panjang berwarna merah jambu dengan gamis bermotif kembang. Sulastri namanya. Ia sedang berbincang dengan anaknya yang duduk di kursi kayu di depan bangku panjang dari beton tempat ibu itu duduk saat saya hampiri.

Tumit kaki sebelah kiri Sulastri dililit kain elastis berwarna jingga yang pudar warnanya. Kain itu dibebat dengan pengait khusus. Ada benjolan panjang sekitar 10 sentimeter yang melintang horizontal di balik kain elastis tersebut. Kepada saya, Sulastri mulai menceritakan alasannya datang ke Haji Naim.

Warga Cipulir ini mengaku sudah cedera sejak dua pekan lalu. Setelah jatuh, Sulastri langsung dibawa ke Rumah Pijat Tulang Haji Naim (RPTHN). Hari ini adalah kunjungannya yang keempat.

"Ini keseleo tapi karena ini parah, jadi sembuhnya agak lama. Tadinya tangan memar semua, sekarang Alhamdulillah mendingan setelah empat kali urut. Tadinya ibu enggak bisa jalan," tutur ibu tiga anak itu.

Sulastri mengaku pertama kali mengenal tempat pijat patah tulang Haji Naim saat anak ketiganya mengalami kecelakaan tunggal. Kecelakaan terjadi sekitar 2006 silam, saat itu anak ketiganya, Rian (28) masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan dalam perjalanan pulang menggunakan motor yang dia gunakan untuk berangkat sekolah sehari-hari.

Pertama kali Sulastri membawa Rian ke Rumah Sakit Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Barat. Saat itu Rian menjalani operasi untuk pemasangan alat di bagian sendi. Selama dirawat, Rian difasilitasi dengan tongkat untuk membantunya berjalan.

"Tapi waktu kakinya belum sembuh dia jatuh lagi jadi patah lagi tulang atasnya," ujar ibu paruh baya itu menghela nafas diiringi mata yang menatap lurus ke arah anak ketiganya, Rian yang sejak tadi menyimak ceritanya.

Rian saat itu jatuh dari tempat tidur karena berusaha berjalan tanpa alat pembantu. "Karena waktu itu tengah malam, enggak ada rumah sakit yang buka jadi langsung ke sini (Rumah Pijat Tulang Haji Naim)," kata Sulastri.

Setelah insiden kedua, Rian harus menjalani perawatan intensif selama hampir setahun di RPTHN. "Hampir setahun di sini, kan awalnya patah di sekitar betis, yang kedua patah di pangkal paha," ujar Rian menimpali.

Selama setahun, Rian menjalani pijat saban sepekan sekali. Ia juga harus menjauhi semua pantangan, seperti makan daging ayam dan kambing, ikan tongkol, udang dan bandeng, buah durian, nanas, pisang dan nangka, minuman beralkohol dan dingin (mengandung es), telur asin dan mi instan. "Es tuh yang parah karena ngilu di tulang," ujar Rian.

Pengurus RPTHN, Haji Hasan Basri saat saya temui tanpa segan mengungkapkan cara pengobatan untuk para pasien. Putra Haji Naim ini mengungkapkan pasien dipijat menggunakan minyak Cimande yang terbuat dari racikan minyak kelapa dan air tebu. Tambahan putih telur sebagai perekat adalah inovasi yang dibuat Haji Naim sejak 85 tahun silam.

"Tadinya emang pake minyak Cimande aja, kalo putih telur itu cuman ayah saya saja, itu ide dari dia," ujar Hasan.

Ia berkata, minyak Cimande yang digunakan rumah pijat tulang Haji Naim dikirim langsung dari Cimande, Bogor. Minyak tersebut dikirim setiap pekan sesuai pesanan dari keluarga Haji Naim yang kebanyakan berprofesi sebagai ahli pijat tulang.

Haji Naim meninggal dunia pada 1981 saat berusia 64 tahun. Tetapi, kepulangan Haji Naim tak membuat kepopuleran dalam menyembuhkan keselo hingga patah tulang terus melegenda hingga kini.

Setelah meninggal dunia, praktik pijat diteruskan anak-anaknya. Haji Naim memiliki 13 anak. Dari 13 anak itu, hanya satu yang tidak bisa memijat. Sementara 12 lainnya mewarisi ilmu memijat dari sang ayah.

Ruang utama Rumah Pijat Tulang Haji Naim, Rabu (29/3). (Foto: Dea Alwi Soraya/ Republika)

Usaha pijat Haji Naim kini telah dikelola turun temurun oleh keluarga. Setelah Haji Naim meninggal usaha dikelola Haji Syarifuddin, anak kedua Haji Naim dan diteruskan Haji Saepulloh. Namun setelah ia meninggal usaha itu dipegang anak kelima, Hj Nazroh.

Namun, kata Hasan, karena rumah pijat tulang sempat sepi, Hj Nazroh membuka usaha sendiri di daerah Semper. Akhirnya Rumah Pijat Tulang diwariskan kepada Haji Hasan Basri, anak keenam Haji Naim yang mengurus hingga sekarang.

Sebelumnya, sejak Haji Naim mengidap darah tinggi sebelum meninggal, anak anaknya mulai membantu usaha pijat tulang di RPTHN. "Seluruh anaknya diajarin dan dibawa ke Cimande untuk ambil ijazah amalan," ujar pria lulusan Yordania ini.

Hasan menjelaskan, Haji Naim mempunyai tiga istri. Istri pertama mengaruniai satu anak, istri kedua dua anak, dan terakhir sepuluh anak. Haji hasan sendiri adalah anak keenam dari istri ketiga. "Anak semua ada 13, tapi yang ada sekarang cuma sepuluh," kata Hasan.

Pria yang menuntut ilmu di Timur Tengah sejak sekolah menengah atas ini menuturkan silsilah keluarganya yang kebanyakan melanjutkan usaha Haji Naim sebagai ahli pijat tulang. Anak pertama Haji Naim dari istri pertama bernama Muhammad Zain. Pria berusia 80 tahun itu menurut Hasan, sejak awal tidak menggeluti profesi sebagai ahli pijat tulang dan lebih tertarik menjadi wiraswasta. "Anak pertama dari istri kedua, Haji Syarifuddin telah meninggal pada usia 70 tahun dan sempat mengelola Rumah Pijat Tulang Haji Naim," katanya.

Sementara anak kedua dari istri kedua, Haji Rozali telah meninggal saat usia 50 tahun yang menggeluti profesi sebagai ahli pijat. Anak Pertama dari istri ketiga, Hj Nurjanah (70) juga berprofesi sebagai ahli pijat dan telah membuka usaha sendiri. Anak kedua, Hj Nazroh (68) sempat mengelola Rumah Pijat Tulang Haji Naim sebelum membuka usaha sendiri di Semper.

Anak ketiga, Haji Hasan Basri (60) pengelola Rumah Pijat Tulang Haji Naim hingga sekarang. Anak keempat, Hj Aisyah (58) menggeluti profesi yang sama dan aktif memijat di RPTHN. Anak kelima, Haji Sanusi (55) juga aktif memijat bersama Haji Hasan dan Hj Aisyah. Anak keenam, Syakirin sudah meninggal sejak usia 40. Anak ketujuh, Haji Tamrin bekerja sebagai PNS di RS Fatmawati, Jakarta Selatan namun turut membantu memijat jika sedang libur. "Anak kedelapan, Haji Kosasih (48) saat ini aktif memijat di RPTHN. Terakhir, Hj Nur Laela (40), saat ini membuka usaha pijat sendiri di rumahnya yang bersebelahan dengan RPTHN," kata dia memaparkan.

Haji Hasan Basri mengaku tidak mematok tarif bagi pasien. Ketentuan ini sudah dilakukan sejak pertama kali Haji Naim membuka usaha pijat. "Kalo pijet ama patah itu enggak ditarif, tapi kalo inap itu dikenain Rp 150 ribu per malem," ujar Hasan dengan logat Betawi yang kental.

RPTHN memang menyediakan ruangan inap berkapasitas sekitar 20 pasien. Pasien yang dirawat inap akan mendapatkan makan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Menurut Hasan, pasien inap kebanyakan adalah pasien yang mengalami patah tulang bagian kaki, engsel dan pinggang.

Ruang rawat inap di Rumah Pijat Tulang Haji Naim. (Foto: Dea Alvi Soraya/ Republika).

Setiap harinya, RPTHN dapat melayani sekitar 100 hingga 300 pasien. Jumlah pasien akan meningkat saat akhir pekan dan hari libur nasional. "Sehari bisa dapet sekitar satu sampe tiga jutaan (rupiah)," ujar Hasan.

Ada delapan pemijat yang dikerahkan di RPTHN, enam di antaranya adalah keluarga Haji Naim. Selain pemijat, ada beberapa petugas konsumsi, kebersihan dan pendaftaran yang berjumlah sekitar empat orang.

Saat ini, RPTHN tidak hanya dikenal warga sekitar Jakarta. Pasien dari berbagai daerah juga banyak berdatangan, seperti Bandung, Jawa Tengah, bahkan mancanegara.

Pengurus RPTHN, Haji Hasan mengaku tidak pernah melakukan pengiklanan untuk mempromosikan RPTHN. "Pasien kebanyakan tau RPTHN dari saudaranya atau tetangganya yang pernah berobat di sini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement