Senin 11 Mar 2019 14:21 WIB

Hubungan Ilegal Indonesia-Belanda

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945.

Pengunjung berada di dekat patung Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebardjo di ruang pengesahan naskah Proklamasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Jumat (20/4).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Pengunjung berada di dekat patung Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebardjo di ruang pengesahan naskah Proklamasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Jumat (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Selamat Ginting

Pada 3 Maret 1898, Laksamana Maeda Tadashi lahir di Kagoshima, Jepang. Ia seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Pada 1945, ia menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di Indonesia, masa Perang Pasifik.

Ia memiliki peran penting bagi Indonesia. Maeda mempersilakan kediamannya sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sekaligus menjamin keamanan bagi Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, juru ketik Sayuti Melik, dan pemeriksa naskah BM Diah.

Tempat tinggal Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat, kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Di situ pula pada 28 Februari 2019, diselenggarakan Diskusi 70 Tahun Pengakuan Kedaulatan Indonesia.

“Museum sebagai salah satu penggerak karakter dan untuk kepentingan masyarakat.  Diskusi sebagai pemicu dan pemacu kedaulatan Indonesia,” kata Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Agus Nugroho, Kamis (29/2/2019) lalu. Ia mewakili Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, yang tidak hadir dalam acara tersebut.

Diskusi menghadirkan nara sumber Duta Besar RI untuk Republik Chilli, Muhammad Anshor. Sebelumnya, Dirjen Amerika dan Eropa, kementerian Luar Negeri RI. Selain itu, Bonnie Tryana, sejarawan, penerbit Majalah Historia. Dengan moderator, Daulat Pane.

Judul acara tersebut, sesungguhnya janggal. Janggal, karena pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 27 Desember 1949. Diberikan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Bukan kepada Republik Indonesia. Jika diskusi untuk memperingati 70 tahun, acara ini terlalu cepat 10 bulan dari peristiwa tersebut.

Baca Juga: Perjuangan Diplomasi Menuju Indonesia Merdeka

Dalam bahasa jurnalistik ada istilah news peg atau pelatuk berita (momentum berita) yang membuat sebuah peristiwa layak diberitakan sekarang. Sehingga dari perspekstif peristiwa, diskusi tersebut menjadi kurang bernilai. Terlalu cepat, 10 bulan dari peristiwa sejarahnya.

Hal ini juga dipertanyakan peserta diskusi yang juga pemerhati sejarah, Batara R Hutagalung. Menurut pendiri dan ketua umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu, yang dimaksud dalam diskusi ini adalah peristiwa 27 Desember 1949. Dinamakan ‘Transfer of Sovereignty’ (bahasa Belanda: Soevereniteitsoverdracht).

Dalam bahasa Indonesia artinya pemindahan atau pengalihan kedaulatan. Batara Hutagalung menanggapi Duta Besar Muhammad Anshor yang memaparkan peristiwa ‘Pengakuan Kedaulatan Indonesia’ yang diberikan oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Di situ Anshor mengatakan pentingnya pengakuan kedaulatan dari negara lain, termasuk dari Belanda.

Tentu saja yang dimaksud oleh Anshor, peristiwa di Den Haag, Belanda, pada 27 Desember 1949. “Padahal itu bukan pengakuan kedaulatan Indonesia, melainkan pemindahan atau pengalihan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Bukan kepada Pemerintah Republik Indonesia,” ungkap Batara Hutagalung.

Batara menjelaskan, tak lama setelah berdirinya RIS, satu-persatu Negara-Negara Bagian RIS membubarkan diri. Atau dibubarkan oleh rakyatnya, dan bergabung dengan Republik Indonesia, berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pada 16 Agustus 1950, RIS dibubarkan. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

“Namun hingga detik ini, saat diskusi berlangsung (28 Februari 2019), pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17 Agustus 1945,” ungkap Batara, mengingatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement