Ahad 27 Jan 2019 14:37 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Soedirman, Sang Jenderal Saleh Nan Zuhud

Soedirman lekat dengan karakter yang taat kepada Islam.

Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wahyu Suryana

Soedirman tidak cuma dikenal sebagai panglima besar. Soedirman lekat dengan karakter yang taat kepada Islam dan menjadi teladan bagi generasi muda bangsa Indonesia.
Haedar menerangkan, Soedirman memang berdakwah di kalangan anak muda, baik di Pemuda Muhammadiyah maupun Hizbul Wathan. Kemudian, Soedirman selalu menjadi guru dan rujukan dalam hal agama dan spiritualitas.
Bahkan, nilai-nilai sufismenya kuat sampai muncul imajinasi beliau tidak bisa ditangkap Belanda, yang tentu karena tauhidnya begitu kuat. Jadi, tidak keliru kalau disebut jenderal yang ulama, pemimpin perang gerilya yang zuhud.
Namun, di Muhammadiyah keulamaan dan atribut ustaz atau kiai tidak jadi idiom yang masif. Tapi, ilmu agama yang tertanam di diri Soedirman itu menyatu dengan kecerdasan dan pengkhidmatannya untuk selalu membela yang lemah.
"Itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari trilogi iman, ilmu, dan amalnya. Lebih dari itu, cinta dan bela Tanah Airnya melebihi segalanya," kata Haedar.
Inilah sisi keulamaan dari keilmuan serta fondasi keimanan yang ada di diri Soedirman. Poin pentingnya bagi elite bangsa saat ini, belajarlah dari Soedirman mulai dari nilai-nilai spiritual yang zuhud dan saleh.
Terlebih, kezuhudan dan kesalehan itu memancarkan ahlak yang agung. Jangan malah meletakkan nilai-nilai spiritualitas seakan eksklusif sebagai bagian keagamaan umat Islam, tapi bagian dari sumber nilai berbangsa dan bernegara.
Kedua, kekuatan prinsip dalam berbangsa, bernegara, dan berjuang. Biar keadaan begitu menderita, Soedirman tetap tidak menyerah atas agresi yang ada. Ketiga, nilai pengorbanan luar biasa Soedirman.
Ketika sekarang muncul egoisme elite, egoisme kelompok, bahkan orang jadi sangat gigih memperjuangkan kepentingannya, harus belajar kepada Soedirman. Keempat, jangan salah gunakan negeri ini dan jangan salah arahkan negeri ini.
"Karena betapa berkorbannya para pendiri dan pejuang bangsa seperti Soedirman, yang harus menanggung segala derita demi tegaknya NKRI," ujar Haedar.

photo
Terakhir, Haedar berpesan agar verbalisme cinta bangsa dan cinta Tanah Air tidak boleh berhenti di retorika dan idiom jargon. Tapi, harus masuk dalam jiwa, pikiran, dan tindakan.
Tujuannya, tidak lain harus untuk sungguh-sungguh membela bangsa dan negara. Membela dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar, untuk lahirnya Indonesia yang betul-betul merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement