Setelah LB Moerdani, Panglima ABRI dipegang oleh Try Soetrisno pada 1988-1993. Di masa Panglima ABRI Try Sutrisno tentara terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Talang Sari dan Dili, Timor Timur. Usai menjabat Panglima ABRI, Try Sutrisno mendapat usulan fraksi ABRI di parlemen saat itu, menjadi wakil dari Presiden Soeharto. Try Sutrisno pun menjadi wapres menggantikan Soedharmono pada 11 Maret 1993.
Ketika Indonesia mulai diterpa krisis finansial, Try Sutrisno tidak melanjutkan jabatannya sebagai wapres. Setelah itu Soeharto pun mengangkat BJ Habibie sebagai wapres. Setelah Panglima ABRI Try Soetrisno hingga jelang akhir Orde Baru, terjadi tiga kali pergantian Panglima ABRI. Di antaranya Jendral Edi Sudradjat dengan waktu cukup singkat hanya empat bulan.
Dilanjutkan Jendral Faisal Tanjung (1993-1998) dan Jendral Wiranto. Masa Panglima TNI dijabat Wiranto kondisi keamanan cukup kacau jelang hingga lengsernya Presiden Soeharto. Situasi akhir pemerintahan Soeharto yang kian kritis, hampir mengulang sejarah Supersemar. Soeharto dikabarkan membuat surat perintah menugaskan Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Wiranto yang saat itu menjabat panglima ABRI merangkap menhankam memiliki peluang mengambil alih pemerintahan. Peluang yang sama saat Soeharto mendapat Supersemar dari Soekarno pada 11 Maret 1966. Namun kesempatan itu tidak digunakan Wiranto. Ia berpandangan situasi akan sangat genting ketika pemerintah dan ABRI kemudian berhadap-hadapan dengan seluruh rakyat Indonesia.
Wiranto memilih cara peralihan kekuasaan secara konstitusional bukan kudeta militer. Ia kemudian menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden saat itu, BJ Habibie yang membuka jalan terjadinya reformasi.