Jumat 10 Nov 2017 16:31 WIB
Hari Pahlawan

Resolusi Jihad Gelorakan Semangat Arek-Arek Surabaya

Resolusi Jihad NU 1945.
Foto: Yasin Habibi/Republika
Sejumlah pemeran mementaskan drama kolosal Surabaya Membara di Jalan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/11). Drama yang menceritakan perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan RI tersebut dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.

Muhibbin menuturkan, isi fatwa jihad ada tiga, yaitu fardu ain atau wajib hukumnya bagi Muslim yang berada di dalam radius sekitar 90 kilomenter, siapa pun itu baik lelaki maupun perempuan, untuk melakukan perlawanan fisik melawan penjajah. Kedua, apabila mati dalam pertempuran, maka matinya adalah mati syahid.

"Ketiga, siapa pun yang menjadi antek atau bekerja sama dengan sekutu, wajib hukumnya dibunuh. Fatwa jihad itu dikeluarkan di Tebuireng, Jombang, yang kemudian dibawa ke Surabaya dan dibacakan pada rapat yang menghasilkan resolusi jihad," terang Muhibbin.

Usai dikeluarkan, fatwa jihad itu kemudian menimbulkan hirah spiritual atau keagamaan yang sangat besar. Motif perjuangan kebanyakan rakyat Surabaya kala itu adalah motif agama, membela Tanah Air yang menjadi bagian dari keimanan.

"Demikianlah sehingga terjadi pergolakan-pergolakan fisik di tingkat lokal. Peristiwa 10 November itu bukan merupakan pertempuran tunggal, tapi didahului oleh suatu gerakan massa yang didorong oleh fatwa jihad itu," kata dia.

Bahkan, Muhibbin menilai, peran fatwa dan resolusi jihad itu, kata Muhibbin, begitu besar. Sampai-sampai menurutnya, tanpa adanya kedua hal itu, tidak akan pernah terjadi sejarah 10 November. Tentara Indonesia kala itu masih sangat muda usianya. Kekuatan militer belum terkonsolidasi dengan baik.

"Bagaimana mau menghadapi sekutu pemenang perang dunia kedua? Karena itu Bung Karno, dia menemukan satu kunci, yaitu harus rakyat yang bergerak secara masif. Dia juga tahu, tidak mungkin pemimpin-pemimpin politik bisa menggerakan massa sebesar yang diperlukan untuk melawan kekuatan AFNEI," terang dia.

Bung Karno, kata Muhibbin, kemudian menemui KH Hasyim Al Asy'ari untuk bertanya bagaimana cara untuk menghadapi sekutu. Bagaimana perspektif agama atau fatwanya untuk melakukan perjuangan dan berharap fatwa itu kemudian memberikan resonansi yang besar.

"Yang kemudian ternyata betul itu (fatwa jihad) menggerakan kekuatan rakyat yang masif itu," kata dia.

Kemudian, sejak 1956, kantor pusat NU pindah ke Jakarta. Sejak saat itu pula tempat yang menjadi cagar budaya klasfikasi A itu dijadikan kantor PCNU Kota Surabaya. Lokasinya kini tak jauh dari makam Bung Tomo di Gubeng.

Selain menjadi pusat kegiatan administratif perkantoran dalam mengurus kinerja NU di Kota Surabaya, gedung itu juga dijadikan salah satu destinasi wisata sejarah. Di sana juga telah dibangun prasasti atau monumen resolusi jihad di sisi luar bangunan.

"Pelajar dan masyarakat umum bsia mengikuti dinamika perjuangan di mana NU terlibat dengan mendatangi kantor itu. Di sana juga kerap digunakan untuk sekolah kebangsaan," jelas Muhibbin

Melalui Dinas Pariwisata dan Pendidikan, anak-anak sekolah negeri di Surabaya melakukan pendidikan kebangsaan di sana. Kegiatan itu rutin dilakukan. Mereka berkumpul di sana untuk kemudian bersama para veteran belajar kebangsaan di bagian aula, aula yang digunakan untuk rapat yang menghasilkan keputusan resolusi jihad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement