Jumat 10 Nov 2017 16:06 WIB
Hari Pahlawan

Pemuda Surabaya Rampas Senjata Jepang demi Menyambut Belanda

Sejumlah pemeran mementaskan drama kolosal Surabaya Membara di Jalan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/11). Drama yang menceritakan perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan RI tersebut dalam rangka memperingati Hari Pahlawan
Foto:
Sejumlah pemeran mementaskan drama kolosal Surabaya Membara di Jalan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/11). Drama yang menceritakan perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan RI tersebut dalam rangka memperingati Hari Pahlawan

Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan menjelaskan, dalam usaha merebut persenjataan Jepang itu, rakyat Surabaya memang tidak langsung menuju ke gudang senjata. Awalnya, mereka merebut senjata dari tentara Jepang yang melakukan patroli terlebih dahulu.

"Dicegati, diambili senjatanya. Setelah itu, mereka mulai menyerang pos-pos tentara kecil milik Jepang. Sudah mulai aksi balas dendam saat itu, orang-orang yang kejam di jalanan itu sudah mulai dihabisi sama rakyat Indonesia," jelas Ady kepada Republika.co.id di sela-sela persiapannya menjelang kegiatan Parade Juang Surabaya di Museum Kesehatan, Surabaya, Jumat (3/11).

Barulah setelah itu, jelas Ady, rakyat Surabaya menuju ke gudang senjata di panti asuhan Don Bosco yang kini terletak di Jalan Tidar No.115, Petemon, Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Gedung panti asuhan itu, saat diduduki Jepang, dijadikan sebagai gudang senjata oleh mereka.

"Don Bosco itu adalah gudang senjata terbesarnya Jepang se-Asia Tenggara. Kalau tidak salah, dari Don Bosco ini ada sekitar 400 ribu pucuk senjata yang berhasil direbut," ungkap Ady.

Bahkan, hasil dari perebutan senjata di Don Bosco itu, kata Ady, sebanyak dua gerbong penuh dikirimkan untuk para pejuang di Jawa Tengah dan Jakarta. Apa yang dikatakan Ady tak jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Aminuddin. Ketika itu, senjata-senjata hasil rampasan dari Jepang disumbangkan dan diangkut ke luar kota.

"Misalnya ke Yogyakarta, Bandung, dan Semarang untuk membantu orang berjuang di sana. (Ya terbesar di Asia Tenggara) di Don Bosco dan di Pacuan Kuda," kata Aminuddin.

Menurut Aminuddin, di Don Bosco itu, Jepang hanya mau menyerahkan senjata itu secara resmi kepada Pemerintah RI. Karena ketika itu tidak ada wakilnya, kemudian drg. Moestopo yang ada pada saat itu spontan berceletuk dengan mengatakan, ia merupakan seorang Menteri Pertahanan ad Interim.

"'Saya adalah Menteri Pertahanan ad Interim dan saya mewakili Pemerintah RI untuk menerima senjata ini'. Pernyataan Moestopo itu diiyakan oleh para pengikutnya yang ada di sana. Karena ada jaminan itu, kemudian Jepang menyerahkan senjata itu kepadanya sebagai komandan," jelas Aminuddin.

Untuk saat ini, fungsi gedung Don Bosco kembali lagi seperti sebelum dijadikan gudang senjata oleh Jepang, yaitu sebagai panti asuhan. Saat berkunjung ke Don Bosco, kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Sehingga, Republika hanya bisa melihat dari bagian luar gedung. Berdasarkan keterangan Handono, seorang alumni dari panti asuhan tersebut mengatakan, bentuk gedung tak banyak berubah.

"Kayaknya tidak banyak berubah. Di dalemnya seperti rumah sakit itu," ujar alumnus Don Bosco tahun 1982 itu di posnya, Jumat (3/11). Kini, ia bertugas menjadi seorang petugas keamanan di Don Bosco.

Plakat yang ditempelkan di tembok bangunan itu dijelaskan, Gedung Don Bosco dibangun pada 1930. Pada 1 Oktober 1945, senjata yang ada di sana berhasil diambil oleh arek-arek Surabaya yang dipimpin Bung Tomo, drg. Moestopo, Inspektur Polisi Mohammad Yasin, dan lainnya. Bangunan yang ditetapkan menjadi cagar budaya pada 1996 itu sempat dijadikan markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Gajah Mada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement