Selasa 12 Sep 2017 13:24 WIB
Saracen dan Perang Asimetris

Menelusuri Pola Proxy War dan Perang Asimetris dalam Kasus Saracen

Ilustrasi Peperangan bangsa Filistin dengan Israel
Foto:
Kelompok penebar hate speech dan hoax di media sosial, Saracen.

Pascaberakhirnya Perang Dunia II (1939-1945), kepopuleran perang konvensional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka, bisa dikatakan meredup. Apalagi setelah Perang Dingin yang menandai runtuhnya Uni Soviet berkat Amerika Serikat.

Dalam perang nirmiliter, muncul perang model baru. Yakni proxy war (perang bonek), hybrid war (perang kombinasi), currency wars (perang mata uang), dan yang sekarang sedang terjadi adalah asymmetric warfare (perang asimetris).

Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Pertahanan dan Keamanan mengadakan loka karya berjudul, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymetric Warfare), di Jakarta pada 2008. DRN menyatakan perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.

Pengamat komunikasi dari UI, Irwansyah menyatakan, undang-undang saat ini tidak memiliki semangat Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang hasil amandemen lebih banyak memenuhi permintaan pihak luar.

Undang-undang saat ini dinilai lebih menguntungkan dan mengikuti kemauan dari internasional. Regulasi tidak lagi mendukung kebutuhan dari bangsa Indonesia. "Padahal, semangatnya harus punya regulasi dari bangsa sendiri," ujar Irwansyah.

Keberpihakan regulasi pada internasional menjadi proxy bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Intervensi dalam bentuk koorporasi secara bersama-sama mengubah kesepakatan regulasi untuk bangsa menjadi pemenuh kebutuhan internasional.

"Banyak yang nasional dinomorduakan karena mengikuti ratifikasi, contoh kita mengikuti MEA," kata pengajar di Universitas Indonesia itu.

Menurutnya, masyarakat Indonesia terlihat belum siap menghadapi MEA karena masih terkendala bahasa. Hanya karena tuntutan internasional, Indonesia memutuskan ikut bergabung tanpa melihat kebutuhan masyarakat dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Kembali ke soal Saracen, pengamat politik Denny JA memiliki gambaran menarik. Ia merawikan, pada 11 September 2001, sebuah pesawat merontokkan gedung kembar yang berdiri angkuh di Amerika Serikat. Gedung bernama World Trade Center (WTC) di New York itu luluhlantak ditabrak sebuah pesawat yang diduga keras dilakukan jaringan Alqaidah. Peristiwa itu populer dengan sebutan 911.

Dalam kasus itu 2.996 warga tewas, dan dan lebih dari 6.000 orang luka. Total kerugian ditaksir mencapai Rp 130 triliun. "Hingga hari ini, terjadi kesepakatan bahwa Alqaidah berada di belakang aksi teroris yang mungkin paling spektakuler sepanjang sejarah. Segera muncul citra di publik luas, Alqaidah musuh besar Amerika Serikat," sebut Denny JA.

Namun, kata dia, publik tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam pasar gelap politik. "Kini pelan-pelan kita terbuka mata. Tak kurang dari Hillary Clinton sendiri yang berpidato resmi dan disiarkan luas di CNN. Kita pun tetap bisa menonton cuplikan pidato Hillary itu di Youtube."

Ujar Hillary, "Kita (Amerika) yang 20 tahun lalu ikut melahirkan Alqaidah. Kita rekriut, latih, dan berikan logistik untuk kepentingan geopolitik Amerika di Timur Tengah melawan Uni Soviet."

Yang terjadi kemudian Alqaidah membesar dan karena satu hal (tak kita tahu semuanya), berbalik melawan tuan yang ikut melahirkannya (Amerika Serikat). Wow!!! Ternyata dalam politik bisa seperti itu. Apa yang terjadi di panggung terbuka bisa berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi, yang terselenggara dalam pasar gelap politik.

Masih kata Denny, Kita bisa tengok kasus lain lagi. Sebuah true story yang sudah difilmkan: American Made (2017), dibintangi Tom Cruise yang memerankan seorang pilot bernama Barry Seal.

Betapa senangnya raja obat terlarang Pablo Escobar di medio 1980-an dengan Barry Seal. Pilot ini bisa dengan cerdas membantunya membawa ratusan kilo obat terlarang ke Amerika Serikat. Obat itu dari pesawat kecil dijatuhkan ke satu wilayah. Kolega bisnis Escobar sudah menanti kirim rejeki yang jatuh dari pesawat.

Bisnis lancar. Begitu banyak dana didapatkan. Dari Barry Seal, Escobar dan kelompoknya bahkan bisa mendapatkan banyak senjata untuk gerilya.

Dalam pasar gelap politik, bahkan itu tak disadari pemain sekaliber Pablo Escobar sekalipun. Ternyata Barry Seal adalah agen CIA yang disusupkan untuk memperoleh bukti dokumen, foto dan sebagainya yang ujungnya menjerat Pablo sendiri.

Karena itulah kita memuji dan mendorong polisi harus mengungkap hingga detail siapa saja yang pernah memesan jasa the so called "Saracen" ini.  Mereka yang menggunakan politik identitas dengan melanggar hukum (hate speech, kriminal) haruslah dihukum yang setimpal. Itu tak hanya melanggar hukum tapi merusak kesatuan bangsa.

Namun harus juga disadari berpolitik atas dasar keyakian agama itu dibolehkan konstitusi UUD 45, prinsip HAM dan praktek demokrasi modern. Pemerintah dan warga harus pintar-pintar membedakan mana isu politik identitas yang boleh dan yang dilarang.

Perbedaannya kadang membingungkan bagi yang tak terlatih dalam discourse pemikiran yang detail. Semoga terbongkarnya kasus Saracen tak hanya meneguhkan kita sebagai satu negara. Dan juga semakin membuat kita paham bahwa ternyata dalam politik tingkat tinggi ada pula pasar gelap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement