Selasa 21 Feb 2017 13:00 WIB
68 Tahun Kematian Tan Malaka

Menengok Kampung Tan Malaka

Kondisi dalam rumah Tan Malaka, Koto tinggi, Sumatera Barat, Kamis (21/2).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Kondisi dalam rumah Tan Malaka, Koto tinggi, Sumatera Barat, Kamis (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, 21 Februari ini, tepat 68 tahun lalu, Tan Malaka, berpulang, selepas dieksekusi tentara republik. Tokoh tersebut oleh sebagian pihak dinilai kontroversial, namun dijura jasanya oleh banyak juga lainnya. Rekam hidupnya menyimpan berlaksa-laksa cerita. Berikut di antaranya.  

Oleh Ahmad Islamy Jamil, wartawan Republika

Kalau ada orang menanyakan jalan apa yang paling panjang di Sumatra Barat, pastilah jawabannya Jalan Tan Malaka. Jalan yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kototinggi ini membentang sejauh hampir 50 km. Jalan provinsi ini tidak sekadar menyandang nama besar itu, tetapi juga akan mengarahkan kita menuju kampung halaman Tan Malaka.

Saya berkunjung ke tempat kelahiran sang pemikir yang terkenal dengan karya Madilog-nya tersebut beberapa waktu lalu. Sebuah rumah tua di pelosok Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten 50 Koto. Di tempat itu pula ia menghabiskan masa kecilnya, sebelum hijrah ke Bukittinggi dan melanglang buana ke berbagai negara.

Bangunan bergaya arsitektur tradisional Minangkabau ini tampak “menyendiri” dari permukiman penduduk lainnya. Dinding depannya terbuat dari papan, sedangkan dinding sampingnya berupa anyaman bambu. Atapnya mempunyai lima buah gonjong, yang menjadi salah satu ciri khas rumah gadang di Luhak 50 Koto. Sejumlah petak sawah diselingi pohon-pohon nyiur menghampar di depannya.

Saya tiba di lokasi ini ketika hari sudah lewat Zhuhur. Hujan yang mengguyur semalaman membuat halaman di sekitar bangunan kuno tersebut menjadi becek.

Begitu pintu rumah gadang itu terbuka, saya langsung menjejakkan kaki di atas lantai ruangan pertamanya—yang oleh penduduk setempat disebut pangakalan. Sebuah potret usang berukuran besar yang menggantung di dinding ruangan ini menyambut kedatangan saya. Foto hitam putih berbingkai kayu tersebut memperlihatkan lelaki gagah yang pernah saya lihat dalam buku bacaan semasa kuliah dulu. Itulah Ibrahim Datuak Tan Malaka.

Saya terus melangkahkan kaki ke ruangan berikutnya. Kali ini, ada lebih banyak lagi foto Tan Malaka yang dipajang. Foto-foto tersebut menampilkan sosok pahlawan itu dalam berbagai pose. Pada salah satu sisi ruangan, terdapat etalase berisi buku-buku yang berhubungan dengan tokoh legendaris ini. Ada Madilog, Dari Penjara ke Penjara, serta beberapa karya dari akademisi, seperti Harry A Poeze, Asvi Warman Adam, Mestika Zed, dan masih banyak lagi.

Cahaya mentari yang masuk lewat jendela menerangi bermacam-macam perabot di dalam rumah kayu ini. Beberapa di antaranya berupa tempat tidur kuno bergaya klasik, talempong (alat musik tradisional khas Minangkabau), dan sofa ala kadarnya. Pada dinding ruangan itu terdapat pula peta silsilah pemegang gelar sako Tan Malaka dari generasi pertama sampai sekarang.

Gelar sako adalah gelar pemimpin adat atau kaum di Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun dan menurut ranji yang berdasarkan sistem matrilineal. Dengan kata lain, nama “Tan Malaka” yang masyhur itu sebenarnya adalah gelar adat yang melekat pada diri Ibrahim, nama kecil pejuang kemerdekaan tersebut.

Salah satu keluarga ahli waris rumah tua Tan Malaka, Indra Ibnur Ikatama, menuturkan, bangunan kayu ini terakhir dihuni pada 1998. Tujuh tahun berikutnya, keluarga besar pemegang sako Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk menjadikan rumah tersebut sebagai museum kecil yang dibuka untuk umum. “Sayangnya, sampai sekarang, tempat ini seakan-akan luput dari perhatian pemerintah daerah di sini,” tuturnya.

Indra mengisahkan, Tan Malaka mendiami rumah itu sampai ia menamatkan pendidikan sekolah rendahnya di Suliki pada 1908. Masa kecil sang penggagas republik tersebut tak jauh berbeda dengan anak-anak di zamannya. “Kegiatan sehari-hari diisi dengan menimba ilmu agama di surau, bermain dengan teman-teman sebaya, juga belajar pencak silat,” papar dia.

Setamatnya dari Kweekschool (Sekolah Raja) Bukittinggi pada 1913, pendiri Partai Murba ini melanjutkan pendidikannya ke Rijks Kweekschool di Haarlem Belanda. Sejak itu, Tan Malaka hampir tak pernah lagi pulang ke Pandam Gadang, kampung halamannya.

Lebih dari separuh hidup Tan Malaka dihabiskan dengan merantau. Bahkan, ia harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner membuat dirinya terus diburu oleh interpol dan pemerintah kolonial masa itu. Jalan hidup Tan Malaka yang rumit ini pula kemudian menginspirasi Hasbullah Parinduri alias Matu Mona menulis karya romannya berjudul Patjar Merah Indonesia.

Berdasarkan cerita yang diperoleh Indra dari sang ibu, Nurnia, sekembalinya dari Belanda, Tan Malaka hanya dua kali pulang ke rumah ini. Sayangnya, kata dia, itu pun hanya sebentar dan tidak diketahui persis kapan tahunnya.

Kepulangannya yang pertama terjadi sekitar 1942-1945. Ia yang kala itu menjadi buronan Jepang, melakukan penyamaran hingga berhasil sampai ke Payakumbuh dan menyempatkan diri untuk menjenguk ibunya yang sudah renta di Pandam Gadang. “Dia juga meninggalkan duit buat ibunya waktu itu,” kata Indra. Beberapa waktu berikutnya, Tan Malaka datang lagi ke rumah ini bersama Prijono—yang di kemudian hari menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1959-1966. [] 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement