Jumat 09 Dec 2016 07:28 WIB

69 Tahun Tragedi Rawagede: Uang Ganti Rugi dari Belanda Disunat (Bagian 3)

karmas (69 tahun), putri Tijeng, janda korban pembantaian Rawagede.
Foto: Angga Indrawan/Republika
karmas (69 tahun), putri Tijeng, janda korban pembantaian Rawagede.

Pada 2011, Tijeng bersama delapan janda lainnya menerima uang kompensasi sebagai janda korban pembantaian Rawagede sebesar Rp 243 juta. Uang itu ia terima usai gugatannya yang difasilitasi Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) berhasil dikabulkan pengadilan Belanda pada 2011. Pada 14 September 2011, Daphne Schreuder, hakim Pengadilan Sipil Den Haag memutuskan bahwa Pemerintah Belanda telah berbuat salah atas eksekusi terhadap warga Rawagede. Pengadilan mewajibkan pemerintah membayar ganti rugi sesuai dengan ketentuan hukum kepada para penggugat.

Fondasi mimpi-mimpi Mak Tijeng baru terbangun bersama Karmas, saat mereka mengetahui bahwa uang tersebut akan segera memperbaiki kondisi ekonominya. Punya sawah dan rumah sendiri pernah jadi bunga tidur Tijeng dan Karmas. Namun kenyataan berbicara lain. Dana kompensasi membuat persoalan baru, kecemburuan yang datang dari para warga yang mengklaim berhak menerima kompensasi sebagai ahli waris. Sejumlah ahli waris mengaku cemburu, meminta uang serupa meski mereka tak pernah mengajukan gugatan.

Tijeng tak bisa berbuat apa-apa saat aparat desa 'memaksa' ia untuk menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta sebagai potongan. Seingat Mak Tijeng, sepulang dari bank untuk mengecek rekening tabungan miliknya, ada beberapa orang perwakilan desa yang sudah menunggu di teras rumah. Mereka adalah Lurah Desa Balongsari, dan dua orang dari Yayasan Sampurna Raga, yayasan yang berdiri pada 2009 yang mengklaim diri sebagai yayasan untuk para keluarga korban Rawagede.

"Ditakut-takuti, bahwa nanti ada ratusan orang demo di depan rumah kalau uang tersebut tidak diberikan," ujar Karmas. Karmas dibayangi ketakutan, mencoba ikhlas, namun hati tak menerima.

Mak Tijeng, kata Karmas, sempat menolak dan memohon agar potongan dana dari kompensasi yang ia terima tak dipotong sedemikian besar. Cukuplah baginya, rejeki itu ia sisihkan Rp 50 juta. Kendati demikian, aparat desa menolak. Nuansa intimidasi pelan-pelan diterima Mak Tijeng dari aparat desa, hingga akhirnya cap jempol Mak Tijeng dalam surat pernyataan terpaksa membuatnya rela melepas uang miliknya sebesar Rp 100 juta. Sisa uang yang dimiliknya, juga diakui Tijeng tak dapat dikelola dengan baik. Uang yang dimiliki Tijeng habis membantu para cucu membangun rumah. Sisanya habis untuk keperluan sehari-hari.

"Gak ada sisanya," ujar Karmas, yang sehari-hari kini mengurusi Tijeng.

Sementara itu, saat dikonfirmasi, ketua Yayasan Sampurna Raga pada saat dana kompensasi itu turun, Wawan Darmawan, membenarkan adanya potongan yang diambil dari para janda tersebut. Namun alih-alih ikut terlibat, Wawan menyebut bahwa potongan sebesar itu lahir dari inisiatif Kepala Desa, H Mamat, yang ia klaim berdasarkan musyarawah dengan para warga ahli waris, juga berdasarkan kesepakatan para janda penerima kompensasi.

"Ada 171 ahli waris yang berhak menerima uang tersebut," ujar Wawan.

Angka itu berdasarkan total 181 jumlah nisan yang berada di monumen Rawagede. Monumen Rawagede rampung dibangun pada 1995, merupakan permakaman yang dianggap lebih layak ketimbang dikubur di dekat rumah keluarga masing-masing korban. Pemindahan jenazah korban dilakukan berangsur-angsur sejak 1951. Sementara itu, Kepala Desa Balongsari, Mamat menolak disebut sebagai pelaku tunggal inisiatif pemotongan dana kompensasi para janda. Menurutnya, itu dilakukan sebagai solusi terakhir melihat gejolak yang timbul di masyarakat. "Ratusan ahli waris menuntut keadilan," ujarnya saat dikonfirmasi. Mamat juga menolak telah melakukan ancaman maupun intimidasi kepada para janda.

 

Bersambung..

Baca: 69 Tahun Tragedi Rawagede: Menagih Pengakuan Kemerdekaan 17-8-1945 (Bagian 4)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement