Senin 22 Aug 2016 06:21 WIB

Ragam Mata Uang Indonesia Selepas Proklamasi Kemerdekaan

Red: M.Iqbal
 Pierre van der Eng, Associate Professor and Reader in International Business at the Australian National University Research School of Management
Foto: cei.ier.hit-u.ac.jp
Pierre van der Eng, Associate Professor and Reader in International Business at the Australian National University Research School of Management

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Pierre van der Eng, Associate Professor and Reader in International Business at the Australian National University Research School of Management

Pengantar

Setelah Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, salah satu kesulitan yang segera menyergap pemerintah republik ini adalah bagaimana membayar gaji pegawai negeri serta menyediakan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Muara dari persoalan ini adalah tingginya tingkat inflasi.

Selama pendudukan Jepang, harga beras di pasar gelap meningkat hingga lebih dari 200 persen pada 1944 dan lebih dari 600 persen setahun kemudian. Semua ini disebabkan oleh begitu besarnya kepemilikan mata uang gulden yang diterbitkan pemerintah pendudukan Jepang (selanjutnya disebut gulden jepang).

Setelah uang-uang itu habis, pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia memerintahkan kantor Nanyo Kaihatsu Ginko di Indonesia untuk mencetak lebih banyak uang dalam bentuk rupiah. Pemerintah pendudukan Jepang tidak melarang penggunanaan gulden kolonial (pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal dengan rupiah).

Mata uang ini berlaku sampai April 1942 dan dikeluarkan oleh Javasche Bank (selanjutnya disebut Bank Jawa). Akan tetapi, masyarakat Tanah Air enggan menerima mata uang pendudukan Jepang.

Sebab, tak banyak yang bisa dibeli di pasar dengan uang tersebut. Maka, mereka terus menggunakan gulden kolonial kapan pun di mana pun.

Pada awal pendudukan Jepang, sekitar 600 juta gulden kolonial beredar sebagai uang tunai pada perekonomian Indonesia. Pada Agustus 1945, jumlah tersebut bertambah 1,7 miliar gulden/rupiah dalam peredaran mata uang.

Namun, masyarakat lebih percaya pada gulden kolonial. Satu gulden kolonial bernilai 10 gulden jepang/rupiah.

Setelah 17 Agustus 1945, pemerintah RI meminjam lebih banyak rupiah dari kantor Nanyo Kaihatsu Ginko di Indonesia. Pada akhir 1945, jumlah gulden Jepang/rupiah yang disirkulasikan meningkat menjadi 2,3 miliar.

Lebih banyak uang pendudukan yang beredar membuat nilainya menurun dibandingkan gulden kolonial. Pada November 1945, pemerintah RI berencana menerbitkan mata uang sendiri.

Namun, keterbatasan kapasitas pencetakan dan suplai kertas menunda pengenalan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang baru. Setelah Bank Negara Indonesia (BNI) dibuka pada 17 Agustus 1945 dan ditetapkan sebagai bank sentral, ORI pertama diterbitkan pada November 1946.

Denominasinya rupiah. BNI kemudian mencoba untuk "membersihkan" gulden kolonial/rupiah dengan menukarnya ke ORI rupiah pada tingkat kurs 50:1. Pada saat bersamaan, pemerintah kolonial Belanda pada pengasingan berencana kembali ke Indonesia.

Mereka berniat mencetak 800 juta gulden dengan dua bahasa di Amerika Serikat. Mata uang ini adalah yang digunakan oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

NICA gulden hadir di Indonesia dengan NICA paymasters. Mereka ditugaskan oleh pemerintah kolonial sejak April 1944 menduduki Indonesia bagian timur, mulai dari Papua Barat.

Pejabat NICA menggunakan NICA gulden untuk membayar tagihan dan upah tenaga kerja Indonesia serta membeli komoditas ekspor. Pada awal 1946, NICA gulden juga disirkulasikan di kota-kota di Jawa.

Banyak mata uang

Pada Januari 1946, Bank Jawa melanjutkan bisnis di Indonesia. Cabang pertama dibuka di Jakarta.

Setelah itu secara bertahap pembukaan kantor cabang dilakukan di seluruh Indonesia. Ketika pemerintah kolonial kehabisan NICA gulden, pengantinya yaitu pemerintah federal memerintahkan Bank Jawa pada Juni 1947 untuk mengeluarkan uang kertas baru dengan dua denominasi, yaitu gulden dan rupiah.

Bank Jawa secara bertahap menghilangkan gulden kolonial dan NICA dengan gulden dan rupiah baru di level 1:1. Pemerintah kemudian menyatakan bahwa mata uang saat pendudukan Jepang tidak berlaku pada Agustus 1948.

Jadi, sepanjang 1946-1948, terdapat beberapa mata uang berbeda yang beredar di Indonesia, yaitu gulden kolonial, gulden dan rupiah pendudukan Jepang, NICA gulden, ORI rupiah yang dikeluarkan BNI dan gulden/rupiah baru yang dikeluarkan Bank Jawa.

Nominal seluruh mata uang ini memiliki nilai yang sama. Tapi di pasar uang, mata uang ini disirkulasikan bergantung pada tingkat variabel pertukaran, penggunaan, dan kepercayaan para pengguna.

Selain itu, rupee India, poundsterling Inggris, dan dolar AS, juga beredar karena kehadiran sekutu pada 1945 hingga 1946. Pemerintah kolonial menggunakan NICA gulden dan gulden/rupiah baru.

Pemerintah Indonesia hanya menggunakan ORI rupiah. Orang lain menggunakan mata uang campuran.

Semua bergantung pada tempat tinggalnya di Indonesia. Nilai tukar lokal juga bergantung pada situasi politik di wilayah tersebut serta pasokan barang impor.

Pemerintah Indonesia di Yogyakarta mendorong penggunaan ORI rupiah. Pemerintah kolonial di Jakarta pun mendorong penggunaan gulden/rupiah baru di wilayah yang mereka kuasai.

Misalnya mereka menggunakan mata uang untuk membeli komoditas ekspor. Sebagai imbalan, mereka membuat barang impor yang tersedia untuk publik, namun pembayarannya dengan ORI rupiah.

Pemerintahan kolonial memiliki akses memperoleh pinjaman dari mancanegara. Mereka juga beroleh keuntungan dari pendapatan pajak yang digunakan untuk keuangan publik.

Sementara pemerintah Indonesia membiayai pembangunan berkat pinjaman BNI. Ini membuat BNI terus menerus mencetak ORI rupiah.

Konsekuensinya, nilai ORI rupiah menurun dibandingkan gulden/rupiah baru.  Akibat agresi militer pertama Belanda pada Juli 1947, jangkauan geografis pemerintah Indonesia menurun.

Kondisi bertambah sulit karena pasukan Belanda menduduki percetakan pemerintah Indonesia di Malang. Oleh karena itu, otoritas lain selain BNI mulai menerbitkan ORI rupiah.

Kekuatan militer RI menerbitkan ORI rupiah untuk membayar gaji tentara dan perlengkapan serta peralatan tempur.

Otoritas-otoritas lokal pun mencetak uang secara mandiri. Pemalsuan pun tumbuh.

Pada 1949, ORI rupiah disirkulasikan di Jawa. Tapi, juga ditemukan ORITA rupiah di Tapanuli dan URIPSU di Wilayah Sumatra Utara dan Aceh.

Belum menghitung uang palsu, otoritas berwenang RI menerbitkan sekitar 4,5 miliar ORI Rupiah dan 1,5 miliar ORI rupiah lokal. Dengan jumlah yang tinggi, nilai ORI Rupiah makin terkisis terhadap gulden/rupiah Bank Jawa.

Angkatan bersenjata RI kemudian mencoba melarang penggunaan mata uang Bank Jawa. Namun, publik semakin menyukai penggunaan gulden/rupiah karena nilainya lebih baik.

Fase akhir

Tingginya inflasi di sejumlah wilayah Indonesia menghambat pemulihan ekonomi. Pada Desember 1949, wakil pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah-daerah di Indonesia merampungkan negosiasi dengan pemerintah Belanda tentang transfer kekuasaan ke Republik Indonesia Serikat (RIS).

Di dalamnya terdapat kesepakatan bahwa Bank Jawa adalah pihak yang tepat mengeluarkan mata uang, dibandingkan BNI. Pada 1 Januari 1950, Kementerian Keuangan menetapkan bahwa rupiah yang dihasilkan Bank Jawa merupakan satu-satunya mata uang yang sah di mata hukum.

Pada Maret 1950, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa pemangkasan nilai mata uang ('Gunting Sjafruddin') untuk mengurangi jumlah uang beredar. Langkah ini juga dimaksudkan untuk membersihkan semua mata uang yang tidak berdasar hukum serta mata uang domestik.

Bank Jawa kemudian dinasionalisasi pada 1951 dan berubah menjadi Bank Indonesia dua tahun kemudian. Salah satu tugas BI adalah menerbitkan mata uang nasional Indonesia, yaitu rupiah.

ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement