Senin 10 Jun 2019 15:10 WIB

Merayakan Lebaran di Jakarta Tahun 1950-an

Masyarakat Betawi menyambut Lebaran sudah dimulai sejak awal Ramadhan

Saling memaafkan saat lebaran (ilustrasi).
Foto: Republika/Amin madani
Saling memaafkan saat lebaran (ilustrasi).

Lebaran sudah berlalu beberapa hari lalu. Namun, wangi silaturahim masih terasa selama bulan Syawal ini. Masih ada yang mudik dan belum kembali dari kampung halaman, ada pula yang sudah kembali karena harus masuk kerja.

Bagi orang Minang —yang sejak kecil dididik untuk merantau dan diperkirakan lebih dua juta orang di Jakarta— saat mudik dikenal dengan istilah ‘pulang besamo’. Mudik berkonvoi, dengan berbagai stiker di tempel di mobil, lalu disambut dan dielu-elukan voorijder di perbatasan provinsi.

Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ”Ayo ke rantau mengubah nasib,” kira-kira begitulah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.

Kondisi saat sebagian masyarakat berebut mudik, sampai akhir 1950-an, jauh berbeda. Ketika itu tidak terlalu disibukkan arus mudik. Tidak ada posko-posko khusus. Apalagi pengerahan aparat keamanan untuk mengamankan Lebaran.

Pada 1950-an penduduk Jakarta tidak sampai dua juta jiwa. Tapi, tidak mengurangi gairah mereka menyambut Idul Fitri. Bahkan, suasana syiar agama lebih syahdu. Kalau sekarang sudah hampir tidak dikenal malam likuran — yaitu malam-malam ganjil saat Ramadhan, terutama mulai malam 21 sampai 29.

Dulu, malam likuran sangat ditunggu-tunggu. Suasana di kampung di malam hari seperti siang. Rumah mereka dikapur atau dicat menyambut lebaran. Halamannya diterangi lampu minyak atau lilin. Orang-orang tua banyak begadang sambil mengaji, tadarus dan berzikir.

Begitu gigihnya ketika itu mereka beribadat sampai ada yang khatam Alquran tiga kali selama Ramadhan. ”Insya Allah kite akan dapetin Lailatul Qadar,” kata mereka dengan yakin.

Bukan hanya orang tua, anak-anak muda Betawi pada malam ganjil berada di masjid atau mushala. Mereka juga begadang semalam suntuk mengaji dan tadarus dibimbing seorang ustaz. Sementara ibu-ibu dan para anak gadisnya tidak kalah sibuk. Mereka membuat kue Lebaran seperti kue nastar, lapis, wajik, dan tidak ketinggalan dodol serta tape uli.

Bagi masyarakat Betawi persiapan menyambut Idul Fitri boleh dibilang telah dilakukan sejak tibanya Ramadhan. Sehari sebelum puasa orang telah mulai bergembira menyambut kedatangan bulan suci dengan memukul bedug sepanjang hari. Hanya berhenti sebentar dekat waktu Dzuhur dan Ashar.

Menjelang Ramadhan, para ibu dan gadis Betawi mandi di getek tepi kali sambil keramas (mencuci kepala) dengan air merang. Maklum kala itu shampo belum nongol. Rakyat masak lebih enak dari hari-hari biasa.

Menyambut Lebaran, bagi orang Betawi, hidangan daging kambing adalah suatu kemustian. Karena itu, mereka mengadakan andilan. Seekor kerbau atau sapi diperuntukkan 20-30 keluarga.

Daging umumnya digunakan untuk semur. Selain untuk makan sendiri juga untuk kenduri. Tidak heran, pada malam takbiran seseorang bisa mendapat undangan makan di empat atau lima tempat. Seperti juga sekarang, kala itu pada malam takbiran orang sudah berbuka puasa dengan ketupat. Hidangan semur, sambal godok dan opor ayam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement