Jumat 17 May 2019 07:28 WIB

Banten Lama Primadona Perdagangan Dunia

Banten mengalami masa jaya pada kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf.

(ilustrasi) Masjid Agung Banten di kesultanan banten abad ke-19
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) Masjid Agung Banten di kesultanan banten abad ke-19

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Banten resmi memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi pada 4 Oktober 2000. Sejatinya, rencana pemekaran wilayah sudah dicanangkan sejak 1963 oleh para tokoh Banten dari berbagai kecamatan.

Banten, sekitar 500 tahun lalu, pernah menjadi bandar terbesar di pulau Jawa. Bangsa Portugis, bukanlah pedagang asing pertama yang mencari lada dan rempah-rempah lainnya di Karangantu, pelabuhan Banten. Karena jauh sebelumnya, mereka didahului saudagar-saudagar Cina, Arab, Gujarat, dan Turki —yang mengangkut rempah-rempah dari bandar Karangantu yang ramai— melalui Teluk Parsi. Kemudian mereka menjualnya kepada pembeli Eropa yang sangat berhasrat.

Lada, saat itu bukan untuk dijadikan bumbu masak. Melainkan untuk memelihara kesehatan badan: ‘menghangatkan perut dan mengurangi sakit perut yang disebabkan oleh cuaca dingin dan angin.’

Pelaut Belanda, Inggris, Prancis, dan Denmark juga mengikuti jejak pelaut Portugis ke arah sumber lada dan rempah-rempah lainnya yang luar biasa khasiatnya waktu itu. Kala itu, mereka tidak singgah di Sunda Kelapa, tapi di Banten, 75 km sebelah barat Sunda Kelapa.

Banten, mengalami masa jayanya pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Ia putra Sultan Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu majunya perdagangan kala itu, hingga Banten menjadi tempat penimbunan barang dari segala penjuru dunia, yang kemudian disebarkan ke antero Nusantara.

Situasi perdagangan di bandar internasional Karangantu saat itu digambarkan sebagai berikut: Pedagang dari Cina membawa uang kepeng, terbuat dari timah hitam yang juga disebut picis. Dengan jung-jung yang tidak hentinya berdatangan ke Banten, mereka membawa porselen, sutera, bludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, kertas, dan berbagai barang lainnya. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan.

Pedagang Gujarat (India) menjual kain, kapas, dan sutra. Orang Portugis membawa kain dari Eropa dan India. Para pedagang ini kembalinya ke negara mereka membawa lada dan rempah-rempah, yang mereka beli dari para pedagang yang berdatangan dari Nusantara ke Banten.

Dengan majunya perdagangan maritim, Sorosowan, ibu kota kerajaan, menjadi ramai. Maka diaturlah penempatan penduduk sesuai keahlian dan asal mereka.

Perkampungan untuk orang asing di pusatkan di luar tembok kota. Seperti Kampung Pekojan, terletak di sebelah barat pelabuhan diperuntukkan untuk pedagang Arab, Gujarat, Mesir, dan Turki. Kampung Pecinan, di sebelah barat Masjid Agung Banten, diperuntukkan bagi pedagang Cina.

Mungkin meniru Banten, Belanda juga membangun kampung Pekojan untuk etnik Arab, dan Pecinan bagi warga Cina. Kini kampung yang disediakan itu lebih populer dengan nama Glodok. Orang Cina sangat berperan dalam ikut memajukan ekonomi Banten kala itu.

Jenderal JP Coen sendiri, saat mendirikan Batavia (1619), telah membawa sekitar 800 warga Cina ke Batavia dari Banten. Dipimpin Souw Beng Kong, yang kemudian diangkat menjadi kapiten Cina pertama. Sayangnya, makam Souw Beng Kong saat ini memprihatinkan karena berada di tengah-tengah permukiman padat penduduk.

Pecinan, yang letaknya sekitar 500 meter dari kraton, kini hanya ditinggali empat keluarga keturunan Cina. Di dekatnya terdapat klenteng, yang menurut pengurusnya sudah berdiri sejak awal Kerajaan Islam Banten. Klenteng ini banyak didatangi pengunjung dari luar Banten, terutama pada malam ciit (tanggal 1 penanggalan Cina) dan malam cap goh meh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement